GARDA PEST CONTROL

LAYANAN CEPAT BERKUALITAS 24 JAM

Garda Pest Control Bekasi

TENTANG KAMI

Garda Pest Indonesia adalah Perusahaan Jasa Pengendalian Hama Terpadu, PT Garda Agata Nusantara berdiri sejak tahun 2011, Pelayanan yang kami berikan untuk Pengendalian Hama & Vektor Pembawa Penyakit seperti Hama Nyamuk, Tikus, Kecoa, Lalat, Semut, Tawon, Kutu Busuk, Rayap dan Hama Pengganggu Lainnya.

VISI KAMI

Memberikan Layanan Jasa Pengendalian Hama yang Cepat dan Berkualitas 24 Jam di seluruh Indonesia dengan Menjaga Keamanan Bagi Lingkungan, Konsumen dan Teknisi.

LAYANAN KAMI

Garda Pest Control Memberikan Layanan Cepat Berkualitas 24 Jam untuk segala Macam Hama yang menjadi masalah di tempat anda. Layanan kami menggabungkan teknologi dan metode tercanggih yang tersedia saat ini. Dirancang khusus untuk mengeluarkan hama dari rumah Anda dan mencegah hama datang kembali. Teknisi Akan melakukan inspeksi menyeluruh sebelum melaksanakan treatment atau Penanganan hama dan setiap melakukan pekerjaan anda akan mendapatkan laporan hasil inspeksi dan rekomendasi agar hama tidak masuk ke area tempat anda.
Garda Pest Control

COVID 19

Jasa Disinfektan Virus Corona atau Covid 19

Garda Pest Control

NYAMUK

Jasa Pengendalian Hama Nyamuk

Garda Pest Control

KUTU BUSUK

Jasa Pengendalian Hama Kutu Busuk atau Kutu Kasur

Garda Pest Control

FLEA

Jasa Pengendalian Hama Kutu Kucing & Kutu Anjing

Garda Pest Control

KECOA

Jasa Pengendalian Hama Kecoa

Garda Pest Control

TIKUS

Jasa Pengendalian Hama Tikus

Garda Pest Control

TAWON

Jasa Pengendalian Hama Tawon & Lebah

Garda Pest Control

RAYAP

Jasa Pengendalian Hama Rayap

Garda Pest Control

LALAT

Jasa Pengendalian Hama Lalat

Garda Pest Control

Mengapa

Garda Pest Control

Layanan 24 Jam

LAYANAN 24 JAM

Layanan Cepat 24 Jam

CEPAT

Layanan Berkualitas

BERKUALITAS

Teknisi Profesional

TEKNISI PROFESIONAL

Harga Terjangkau

HARGA TERJANGKAU

Tersertifikasi Aspphami

MEMBER ASPPHAMI

Perusahaan Pest Control di Kota Sumedang

GARANSI KEPUASAN PELANGGAN

Teknisi Garda Pest Control akan melakukan inspeksi terlebih dahulu sebelum proses treatment atau penanganan hama dan setelah proses treatment selesai akan memberikan edukasi seputar hama, untuk mencegah hama datang kembali ke tempat anda.

TESTIMONI PELANGGAN GARDA

Jasa Fogging Nyamuk Terdekat
PROMO FOGGING NYAMUK
Jasa Disinfektan Virus
PROMO DISINFEKTAN VIRUS
Jasa Pembasmi Tikus Rumah
PROMO PEMBASMI TIKUS

Pesan Sekarang Sebelum Promo Berakhir

Hari
Jam
Menit
Detik
FAQS

Garda Pest Control Berkantor Pusat di Bekasi, Area Layanan Kami Jabodetabek, Bandung, Sukabumi, Cianjur, Karawang, Purwakarta, Cikampek, Subang, Sumedang, Garut, Tasik, Cirebon, Tegal, Brebes, Batang, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Malang, Surabaya, Bali, Mataram, Makassar, Manado, Batam, Pekanbaru dll

Pemesanan Bisa Melalui Telepon Kami, atau menghubungi Marketing Via Whatsapp atau Pesan Melalui Aplikasi Garda Pest Control yang bisa di Unduh di Google Play Store

Sistem Pembayaran dilakukan setelah Proses Pengerjaan Selesai melalui Rekening Garda Pest Control.

Tidak ada biaya tambahan apapun. Harga yang tercantum di Pricelist adalah merupakan harga keseluruhan.

Setelah Proses Pesanan Disetujui maka akan dilakukan pengecekan jadwal terlebih dahulu, dan jika jadwal tersedia maka akan dijadwalkan langsung di hari yang sama atau sesuai permintaan dari pihak customer.

Garda Pest Memberikan Garansi Kepuasan Pelanggan, Garansi Pekerjaan berlaku untuk treatment tertentu, seperti :

  • Garansi Pengendalian Hama Kutu Busuk selama 1 (satu) Bulan
  • Garansi Pengendalian Hama Kecoa di Mobil selama 3 (Tiga) Bulan.
  • Garansi Pengendalian Hama Kutu Kucing selama 1 (satu) Bulan.
  • Garansi Pengendalian Hama Rayap Sistem Injeksi Pasca Konstruksi Selama 3 (Tiga) Tahun.
  • Garansi Pengendalian Hama Rayap Pra Konstruksi Selama 5 (Lima) Tahun.
  • Garansi Pengendalian Hama Rayap Sistem Baiting Selama 1 (satu) Tahun.

 

Selama mengikuti setiap rekomendasi dari pihak teknisi garda pest control, maka kemungkinan kecil hama akan datang kembali, ada beberapa hal yang harus di perhatikan dalam pengendalian hama. 

ada 5 Faktor Keberhasilan dalam Penanganan Hama :

  • Prevention (Pencegahan) 20% dilakukan untuk mencegah infestasi hama yang ada di luar bangunan dan dalam luar bangunan.
  • Exclusion (Penutupan) 20% untuk mencegah perkembangbiakan sehingga menekan populasi hama.
  • Sanitation (Sanitasi Lingkungan 20%) menjaga kebersihan dan melakukan pembersihan di dalam dan luar bangunan untuk mencegah hama datang ke tempat anda.
  • Treatment (Pelaksanaan Pekerjaan) 20% Teknisi Garda Pest Control sebelum melaksanakan treatment akan melakukan inspeksi terlebih dahulu secara menyeluruh di lokasi untuk menentukan metode yang tepat untuk  menanggulangi hama di tempat anda. setelah proses treatment teknisi akan memberikan rekomendasi terbaik untuk mencegah hama datang kembali. 
  • Partnership (Kerjasama)20% Teknisi memberikan rekomendasi agar hama tidak datang kembali dan customer menjalankan setiap rekomendasi dari teknisi.

Proses pengerjaan tergantung dari luas area, jika luas area kurang dari 200 meter membutuhkan waktu -+ 45 Menit.

Ruangan Setelah perlakuan treatment harus steril setelah -+ 60 menit baru bisa digunakan kembali.

Chemical yang digunakan sangat berbahaya bagi Hama dan bisa mematikan dan tentunya aman bagi manusia karena formulasi tepat dan Chemical yang digunakan sudah sesuai standar dari Komisi Pestisida.

Teknisi Garda Pest Control selalu menggunakan APD yang lengkap, dan tentunya sudah berpengalaman di bidang pengendalian hama serta sudah memiliki sertifikat Pelatihan dari BAPELKES

Hanya di Garda Pest Control yang memberikan Layanan Cepat Berkualitas 24 Jam, Hari Libur & Tanggal Merah kami tetap melayani anda, karena kami sadar hama sangatlah menggangu dan bisa menjadi vektor penyebaran penyakit.

Contact Info

Pengendalian Hama Serangga

Bila dibandingkan dengan banyaknya jenis hewan di dunia ini, ternyata filum Arthropoda menduduki urutan nomor satu diantara jenis-jenis hewan lain. Dari filum Arthropoda ini, kelas Insecta atau serangga merupakan jenis yang terbesar (sekitar satu juta spesies). Hal ini disebabkan oleh daya tahan tubuhnya yang baik, cepatnya menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan penyebaran yang sangat luas yaitu mulai dari daerah tropis hingga daerah kutub. Diantara anggota filum Arthropoda diketahui ada yang sangat berguna bagi kehidupan manusia dan sebaliknya diketahui pula ada yang berperan merugikan manusia dan hewan. Kelompok yang terakhir ini lebih dikenal sebagai ektoparasit atau pengganggu atau hama. Yang termasuk di dalam kelompok ektoparasit adalah kelas Insecta (serangga) dan kelas Arachnida (caplak dan tungau). Kelas Insecta yang penting diketahui bagi dunia pengendalian hama permukiman antara lain adalah ordo Dictyoptera atau Blattodea (lipas), ordo Diptera (lalat dan nyamuk), ordo Hymenoptera (semut, tawon, lebah), ordo Siphonaptera (pinjal), ordo Phthiraptera (subordo Mallophaga atau kutu penggigit dan subordo Anoplura atau kutu penghisap), ordo Rhynchophthirina, ordo Hemiptera, ordo), ordo Coleoptera (kumbang), dan ordo Psocoptera. Adapun kelas Arachnida yang penting diketahui antara lain ordo Parasitiformes (contohnya caplak) dan Acariformes (contohnya tungau). 

Kelas INSECTA (Serangga) Ciri-ciri umum kelas ini adalah (Gambar 1) : 1 Tubuh terbagi atas kepala, toraks dan abdomen. 2 Mempunyai sepasang sayap kecuali Anoplura, Mallophaga dan Siphonaptera. 3 Mempunyai sepasang antena. 4 Mempunyai tiga pasang kaki. 5 Perangkat mulut telah mengalami perkembangan dan penyesuaian sedemikian rupa sehingga dikenal berbagai ragam tipe seperti menggigit/mengunyah, menusuk, menghisap, menyerap dan sebagainya.

Bioekologi Serangga

Gambar 1 Diagram tubuh serangga (belalang), (a) kepala, (b) toraks, (c) abdomen, (d) antena, (e) mata, (f) tarsus, (g) koksa, (h) trokhanter, (i) timpanum, (j) spirakel, (k) femur, (l) tibia, (m) ovipositor, (n) serkus

Pengenalan Biologi Serangga. Siklus hidup serangga umumnya dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pertumbuhan/perkembangan dan pendewasaan atau pemasakan. Selama fase perkembangan energi tercurahkan untuk proses pertumbuhan, sedangkan selama fase pendewasaan energi tercurahkan untuk penyebaran dan reproduksi. Serangga yang baru menetas mempunyai ukuran dan bentuk yang kadang-kadang berlainan sama sekali dengan serangga dewasa. Perubahan bentuk yang dialami mulai dari telur sampai serangga dewasa disebut metamorfosis. Derajat perubahan ini bervariasi pada bermacam-macam serangga. Diketahui ada tiga tipe metamorfosis serangga yaitu :

  1. Tidak mengalami metamorfosis atau ametabola

Perubahan struktur tubuh pada serangga ini hampir tidak kelihatan, sehingga seringkali disebut juga tidak mengalami metamorfosis. Contohnya serangga ametabola adalah Collembola, Thysanura dan Diplura. Bentuk pradewasa ametabola disebut nimfa (Gambar 2).

Bioekologi Serangga

Gambar 2 Ametabola pada ordo Thysanura

  1. Metamorfosis sederhana

Perkembangan serangga ini berubah secara bertahap dalam bentuk luarnya dari telur sampai bentuk dewasa. Bentuk pradewasa disebut nimfa, mempunyai kebiasaan serupa dengan yang dewasa. Kelompok serangga ini disebut juga Paurometabola. Contohnya antara lain, kutu (Phthiraptera), kepik (Hemiptera), rayap (Isoptera), belalang (Orthoptera), lipas (Dictyoptera) (Gambar 3). Selain itu ada pula serangga yang termasuk di dalam kelompok metamorfosis sederhana tetapi stadium pradewasanya hidup di air, contohnya ialah capung (Odonata). Bentuk pradewasa disebut naiad atau tempayak. Kelompok serangga ini disebut juga Hemimetabola.

Bioekologi Serangga

Gambar 3 Metamorfosis sederhana pada lipas

  1. Metamorfosis sempurna

Pengendalian Hama Permukiman di Indonesia 9 9 Perubahan struktur tubuh pada serangga ini sangat besar dari berbagai stadium. Serangga ini dianggap orang sebagai serangga yang maju perkembangannya dalam sejarah evolusi serangga. Kelompok serangga ini disebut juga Holometabola. Contohnya adalah lalat (Gambar 4), nyamuk (Nematocera), pinjal (Siphonaptera), kumbang (Coleoptera), kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera), semut, lebah dan tawon (Hymenoptera).

Bioekologi Serangga


Gambar 4 Metamorfosis sempurna pada lalat

Hama pengganggu yang berasal dari kelompok Arthropoda dikenal dengan istilah Ektoparasit, karena hidupnya di luar tubuh inangnya (hewan atau manusia). Ektoparasit ini ada yang bersifat obligat dan fakultatif. Yang bersifat obligat artinya seluruh stadiumnya, contohnya, kutu penghisap (Anoplura), menghabiskan seluruh waktunya pada bulu dan rambut. Kelompok yang bersifat fakultatif artinya ektoparasit itu menghabiskan waktunya sebagian besar di luar inangnya.

Mereka datang mengganggu inang hanya pada saat makan atau menghisap darah ketika diperlukannya. Contohnya, kutu busuk (Hemiptera: Cimicidae), datang pada saat membutuhkan darah, setelah itu bersembunyi di tempat-tempat gelap atau celah-celah yang terlindung, jauh dari inangnya. Demikian juga yang dilakukan oleh berbagai jenis serangga penghisap darah dari Ordo Diptera, khususnya famili Culicidae (nyamuk, agas, mrutu, lalat punuk).

Jenis-jenis hama permukiman yang banyak dijumpai di Indonesia antara lain adalah berbagai jenis lalat, nyamuk, lipas, kutu, kutu busuk, pinjal dan caplak . Peranan hama permukiman dalam manusia sangat merugikan karena selain menimbulkan gangguan yang menggelisahkan dan juga dapat berakibat fatal terutama serangga-serangga vektor penular penyakit.

Berikut ini disebutkan beberapa jenis hama yang umum dijumpai pada lingkungan permukiman antara lain berbagai jenis lalat, nyamuk, kecoa/lipas, semut dan kutu busuk. Akhir-akhir ini yang menjadi hama di sekitar permukiman tidak hanya kelompok serang tersebut di atas, tetapi juga kucing, kelelawar, burung, ular dan lainnya menjadi pengganggu yang tidak dapat diabaikan. Bagaimana konsep pengendalian hama juga disajikan pada akhir tulisan ini.

Nyamuk tersebar luas di seluruh dunia mulai dari daerah kutub sampai ke daerah tropika, dapat dijumpai pada ketinggian 5.000 meter di atas permukaan laut sampai pada kedalaman 1.500 meter di bawah permukaan tanah di daerah pertambangan. Nyamuk termasuk ke dalam odo Diptera, famili Culicidae, dengan 3 subfamili yaitu Toxorhynchitinae (Toxorhynchites), Culicinae (Aedes), Culex, Mansonia, Armigeres, dan Anophelinae (Anopheles). Nyamuk di Indonesia terdiri atas 457 spesies, diantaranya 80 spesies Anopheles, 125 Aedes, 82 Culex, 8 Mansonia, sedangkan sisanya tidak termasuk begitu mengganggu (O’Connor dan Sopa, 1981). Beberapa contoh jenis nyamuk yang terdapat di Indonesia adalah nyamuk malaria seperti Anopheles aconitus, An. sundaicus, An. maculatus, An. vagus, An kochi, dan An. barbirostris; nyamuk demam berdarah seperti Aedes aegypti dan Ae.albopictus; nyamuk rumah seperti Culex quinquefasciatus, nyamuk rawa-rawa seperti Mansonia uniformes, nyamuk kebun, Armigeres subalbatus dan nyamuk gajah seperti Toxorhynchites amboinensis.

Di dalam siklus hidupnya, nyamuk mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) yaitu telur, larva (jentik), pupa dan dewasa. Larva dan pupa memerlukan air untuk kehidupannya, sedangkan telur pada beberapa spesies seperti Aedes aegypti dapat tahan hidup dalam waktu lama tanpa air, meskipun harus tetap dalam lingkungan yang lembab. Nyamuk merupakan serangga yang sangat sukses memanfaatkan air lingkungan, termasuk air alami dan air sumber buatan yang sifatnya permanen maupun temporer. Danau, aliran air, kolam, air payau, bendungan, saluran irigasi, air bebatuan, septik teng, selokan, kaleng bekas dan lain lain dapat berperan sebagai tempat bertelur dan tempat perkembangan larva nyamuk. Nyamuk dewasa bisa tinggal di sekitar tempat perindukannya, tapi bisa juga terbang beberapa kilometer, tergantung spesies dan faktor lain.

Nyamuk yang berada di sekeliling rumah seperti Culex quinquefasciatusAe. aegypti dan Ae. albopictus, tumbuh dan berkembang dalam genangan air di sekitar kediaman kita. Telur yang diletakkan di dalam air akan menetas dalam waktu satu sampai tiga hari pada suhu 30OC, tetapi membutuhkan 7 hari pada 16 OC. Larva mengalami 4 kali pergantian kulit (instar) dan segera berubah menjadi pupa. Bentuk pupa yaitu fase tanpa makan dan sangat sensitif terhadap pergerakan air, sangat aktif jungkir balik di air. Pupa menjadi dewasa di atas permukaan air yang tenang. Stadium ini hanya berlangsung dalam waktu 2-3 hari, tetapi dapat diperpanjang sampai 10 hari pada suhu rendah; di bawah suhu 10 OC tidak ada perkembangan. Waktu menetas (ekslosi), kulit pupa tersobek oleh gelembung udara dan oleh kegiatan bentuk dewasa yang melepaskan diri. Siklus hidup bisa lengkap dalam waktu satu mingggu atau lebih tergantung suhu, makanan, spesies dan faktor lain.

Nyamuk dewasa jantan umumnya hanya tahan hidup selama 6 sampai 7 hari, sangat singkat hidupnya dan makanannya adalah cairan tumbuhan atau nektar, sedangkan yang betina dapat mencapai 2 minggu lebih di alam dan bisa menghisap darah berbagai jenis hewan atau manusia.

Nyamuk ini selain menjadi pengganggu karena gigitannya yang menimbulkan kegatalan dan menularkan penyakit malaria, demam berdarah, filariasis, Chikungunya dan lain-lain.

Sampai saat ini nyamuk yang berperan sebagai vektor utama dari penyakit DBD adalah spesies Aedes aegypti. Sangat sedikit ditemui kasus yang menunjukkan adanya penularan virus dengue dari spesies Aedes lainnya. Aedes aegypti sangat mudah dikenali karena tubuhnya memiliki ciri yang khas yaitu adanya garis-garis dan bercak-bercak putih keperakan di atas dasar warna hitam (hitam belang-belang putih diseluruh tubuh).  Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti dikenal dengan sebutan black white mosquito atau tiger mosquito karena tubuhnya memiliki garis-garis dan bercak-bercak putih keperakan di atas dasar warna hitam. Sedangkan yang menjadi ciri khas utamanya adalah ada dua garis lengkung yang berwarna putih keperakan di kedua sisi lateral dan dua buah garis putih sejajar di garis median dari punggungnya yang berwarna dasar hitam. Di Indonesia, nyamuk ini sering disebut sebagai salah satu dari nyamuk rumah.

 Taksonomi Urutan klasifikasi dari nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Sub phylum : Uniramia Kelas : Insekta Ordo : Diptera Sub ordo : Nematosera Familia : Culicidae Sub family : Culicinae Tribus : Culicini Genus : Aedes Spesies : Aedes aegypti (Djakaria, 2004)

Morfologi Aedes aegypti dewasa Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu mengalami perubahan bentuk morfologi selama hidupnya dari stadium telur berubah menjadi stadium larva kemudian menjadi stadium pupa dan menjadi stadium dewasa. Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran nyamuk Culex quinquefasciatus, mempunyai warna dasar yang hitam dengan bintik putih pada bagian badannya terutama pada bagian kakinya (Depkes RI, 2007).

Tubuh nyamuk dewasa terdiri dari 3 bagian, yaitu kepala (caput), dada (thorax) dan perut (abdomen). Badan nyamuk berwarna hitam dan memiliki bercak dan garis-garis putih dan 10 tampak sangat jelas pada bagian kaki. Tubuh nyamuk dewasa memiliki panjang 5 mm. Pada bagian kepala terpasang sepasang mata majemuk, sepasang antena dan sepasang palpi, antena berfungsi sebagai organ peraba dan pembau. Pada nyamuk betina, antena berbulu pendek dan jarang (tipe pilose). Sedangkan pada nyamuk jantan, antena berbulu panjang dan lebat (tipe plumose). Thorax terdiri dari 3 ruas, yaitu prothorax, mesotorax, dan methatorax. Pada bagian thorax terdapat 3 pasang kaki dan pada mesothorax terdapat sepasang sayap. Abdomen terdiri dari 8 ruas dengan bercak putih keperakan pada setiap ruas. Pada ujung atau ruas terakhir terdapat alat kopulasi berupa cerci pada nyamuk betina dan hypogeum pada nyamuk jantan (Depkes RI, 2009). Pada nyamuk betina, mulutnya berupa probosis panjang yang berfungsi untuk menembus kulit dan menghisap darah. Sedangkan pada nyamuk jantan, probosisnya berfungsi sebagai pengisap sari bunga atau tumbuhan yang mengandung gula merah (zat nektar).

Siklus hidup Aedes aegypti dan juga jenis nyamuk lainnya memiliki siklus hidup sempurna (holometabola). Siklus hidup terdiri dari empat stadium, yaitu telur – larva – pupa – dewasa. Stadium telur hingga pupa berada di lingkungan air, sedangkan stadium dewasa berada di lingkungan udara. Dalam kondisi lingkungan yang optimum, seluruh siklus hidup ditempuh dalam waktu sekitar 7 – 9 hari, dengan perincian 1 – 2 hari stadium telur, 3 – 4 hari stadium larva, 2 hari stadium pupa (Silva, 2003). Siklus gonotropik dimulai sejak menghisap darah untuk perkembangan telur hingga meletakkan telur di tempat perindukan. Siklus gonotropik adalah siklus reproduksi dari menghisap darah, mencerna darah, pematangan telur dan perilaku bertelur. Siklus hidup Aedes aegypti dari telur hingga dewasa dapat berlangsung cepat, kira-kira 7 hari, tetapi pada umumnya 10 – 12 hari. Di daerah beriklim sedang, siklus hidup dapat mencapai beberapa minggu atau bulan (Soeroso, 2002).

Umur setiap Aedes aegypti dewasa bervariasi dan dapat berbeda-beda tergantung iklim tempat hidupnya. Pada umumnya, umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan (Sembel, 2000). Posisi telur diletakkan soliter sedikit di atas garis pemukaan air, baik tandon temporer maupun habitat lain yang permukaan airnya naik turun. Telur dapat bertahan beberapa bulan dan menetas bila 12 tergenang air. Semua spesies yang berada di daerah dingin mempertahan hidup pada periode ini dalam stadium telur. Aedes aegypti khususnya, berkembang biak pada lingkungan domestik.

Persebaran Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis dan subtropis Asia Tenggara, terutama di perkotaan. Penyebarannya ke daerah pedesaan dikaitkan dengan pembangunan sistem persediaan air bersih dan perbaikan sarana transportasi. Aedes aegypti merupakan vektor perkotaan dan populasinya secara khas berfluktuasi bersama air hujan dan kebiasaan penyimpanan/penampungan air. Negara negara dengan curah hujan lebih dari 200 cm per tahun, populasi Aedes aegypti lebih stabil, dan ditemukan di daerah perkotaan, pinggiran kota, dan pedesaan. Kebiasaan penyimpanan air secara tradisional di Indonesia, Myanmar, dan Thailand, menyebabkan kepadatan nyamuk lebih tinggi di pinggiran kota daripada di perkotaan. Urbanisasi juga meningkatkan jumlah habitat yang sesuai untuk Aedes aegypti. Kota-kota yang banyak ditumbuhi tanaman, baik Aedes aegypti maupun Aedes albopictus banyak ditemukan (WHO, 2004). Aedes aegypti dapat terbang di udara dengan kecepatan 5,4 kilometer per jam. Tetapi bila berlawanan angin kecepatannya turun mendekati nol. Jarak terbang Aedes aegypti berkisar antara 40 – 100 meter dari tempat perindukannya. Penyebaran nyamuk betina 13 dewasa dipengaruhi oleh faktor ketersediaan tempat bertelur dan darah. Jarak terbang hanya 100 m dari tempat kemunculan, namun dalam kondisi tempat bertelur yang jauh, dapat mencapai 400 m. Penyebaran pasif dialami telur dan larva dalam wadah penampung air (Foster, 2002). Aedes aegypti dapat ditemukan pada ketinggian antara 0 – 1000 m di atas permukaan laut. Ketinggian yang rendah (< 500m) memiliki tingkat kepadatan populasi yang sedang sampai berat, sedangkan di daerah pegunungan (>500m) kepadatan populasi rendah. Batas ketinggian penyebaran Aedes aegypti di kawasan Asia Tenggara berkisar 1000 – 1500 m, sedangkan di Kolombia mencapai 2200 m di atas permukaan laut (WHO, 2004).

  1. Ekologi dan Bionomi, Habitat dan tempat perkembangbiakan Tempat perkembangbiakan utama Aedes aegypti ialah tempat-tempat penampungan air berupa genangan air yang tertampung disuatu tempat atau bejana di dalam atau sekitar 14 rumah atau tempat-tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk ini biasanya tidak dapat berkembangbiak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah (Depkes RI, 2009). Jenis tempat perkembangbiakan Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut:
  2. a. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/WC, dan ember.
  3. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut dan barang-barang bekas (ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain).
  4. Tempat penampungan air alamiah, seperti lobang pohon, lobang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu. (Depkes RI, 2009).
  5. 2. Perilaku Menghisap Darah Sama seperti jenis nyamuk pada umumnya, hanya Aedes aegypti betina yang menghisap darah, sedangkan Aedes aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya. Protein dalam darah diperlukan oleh nyamuk betina untuk mematangkan telur agar jika dibuahi oleh 15 sperma nyamuk jantan, telur dapat menetas. Aedes aegypti betina sangat dominan menghisap darah manusia (antropofilik) walaupun jenis Aedes juga bisa menghisap dari hewan berdarah panas lainnya. Nyamuk betina memiliki dua periode aktivitas menghisap darah, pertama di pagi hari beberapa jam setelah matahari terbit dan sore hari beberapa jam sebelum gelap. Aktivitas menggigit biasanya mulai pagi sampai petang hari dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00. Puncak aktivitas menggigit yang sebenarnya dapat beragam, tergantung pada lokasi dan musim. Aedes aegypti biasanya tidak menggigit di malam hari, tetapi akan menggigit saat malam di kamar yang cukup terang (WHO, 2004). Tidak seperti nyamuk lain, Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang kali (multiple bites) dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Siklus gonotropik biasanya bervariasi antara 3 – 4 hari. Jika masa makannya terganggu, Aedes aegypti dapat menggigit lebih dari satu orang. Perilaku ini semakin memperbesar efisiensi penyebaran epidemik. Bukanlah suatu hal yang aneh jika beberapa anggota keluarga mengalami rangkaian penyakit yang sama dalam waktu 24 jam, memperlihatkan bahwa mereka terinfeksi nyamuk infektif yang sama (Depkes RI, 2009). 16
  6. 3. Perilaku Istirahat Aedes aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembab dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan termasuk di kamar tidur, kamar mandi, maupun di dapur. Suhu yang disukai oleh Aedes aegypti di lingkungan tersebut adalah berkisar antara 15 oC – 40oC dengan kelembaban berkisar 60 – 89% (Anggraeni, 2010). Nyamuk ini jarang ditemukan di luar rumah, di tumbuhan kebun atau di tempat terlindung lainnya. Permukaan yang nyamuk suka di dalam ruangan adalah di bawah furniture, benda yang tergantung seperti baju, gorden serta di dinding (WHO, 2004). Setelah kenyang menghisap darah, Aedes aegypti hinggap (beristirahat) di dalam atau kandang-kandang di luar rumah berdekatan dengan tempat perkembangbiakannya. Biasanya di tempat yang agak gelap dan lembab. Di tempat-tempat ini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya (Depkes RI, 2009). Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakkan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya, sedikit di atas permukaan air.
  7. 4. Perilaku Terbang Pergerakan nyamuk Aedes aegypti dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan selanjutnya ke tempat untuk beristirahat ditentukan oleh kemampuan terbangnya. Pada waktu 17 terbang nyamuk memerlukan oksigen lebih banyak, dengan demikian penguapan air dari tubuh nyamuk menjadi lebih besar. Untuk mempertahankan cadangan air di dalam tubuh dari penguapan maka jarak terbang nyamuk menjadi terbatas (WHO, 2004). Aktifitas dan jarak terbang nyamuk dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi kondisi luar tubuh nyamuk seperti kecepatan angin, temperatur, kelembaban dan cahaya. Adapun faktor internal meliputi suhu tubuh nyamuk, keadaan energi dan perkembangan otot nyamuk. Meskipun Aedes aegypti kuat terbang tetapi tidak pergi jauh-jauh, karena tiga macam kebutuhannya yaitu tempat perindukan, tempat mendapatkan darah, dan tempat istirahat ada dalam satu rumah. Keadaan tersebut yang menyebabkan Aedes aegypti bersifat lebih menyukai aktif di dalam rumah. Apabila ditemukan nyamuk dewasa pada jarak terbang mencapai 2 km dari tempat perindukannya, hal tersebut disebabkan oleh pengaruh angin atau terbawa alat transportasi (Sitio, 2008). Pada spesies Aedes aegypti dan Aedes albopictus, nyamuk jantan terbang membentuk tanda pengenal. Bila nyamuk betina memasuki tanda tersebut, nyamuk jantan mengenali frekuensi getaran sayap nyamuk betina dan posisinya melalui antena pulmose. Getaran sayap nyamuk betina berkisar antara 150 – 600 18 Hz, tergantung temperatur dan ukuran sayap, atau 100 – 250 Hz lebih rendah daripada suara sayap nyamuk jantan. Nyamuk jantan mendekati betina dan kawin. Lama waktu kawin berkisar 12 detik hingga beberapa menit di udara atau pada tumbuhtumbuhan (Foster, 2002).
  8. 5. Cara mengenali rangsangan lingkungan Nyamuk jantan dewasa dan betina pada kebanyakan spesies secara teratur menghisap gula merah pada tumbuhan sepanjang hidupnya. Kebutuhan air diperoleh dari permukaan benda yang lembab serta saat menghisap gula merah dan darah. Bila mendeteksi sumber gula merah atau darah, nyamuk terbang mendekati tempat tersebut. Sumber zat gula merah atau darah diketahui melalui bau/aroma yang dikeluarkan (Foster, 2002). Penelitian di lapangan menunjukkan bahwa beberapa spesies terbang mencari mangsa dipandu dalam penglihatan dengan gambaran visual spesifik secara mendatar atau mengikuti gambaran pohon yang berdiri. Pandangan visual sangat penting dalam mengenali host, khususnya pada spesies yang aktif pada siang hari, pada lingkungan terbuka, dan pada jarak sedang atau dekat. Benda yang gelap, kontras atau bergerak, juga menarik perhatian. Nyamuk betina mendekati host potensial pada jarak 1 – 2 meter. 19 Setelah menetas dari pupa, nyamuk betina biasanya mulai mengenali stimulus dari host. Nyamuk betina mengenali host vertebrata dalam 1 – 3 hari. Host vertebrata termasuk mamalia, burung, reptil, amfibia, dan ikan-amfibia. Perilaku mengenali host tersebut melalui pengenalan aroma kimia yang dikeluarkan host vertebrata. Carbon dioksida, asam laktat, dan octenol merupakan atraktan yang dikenali dengan sangat baik oleh nyamuk. Sekresi di kulit juga menjadi pemikat yang sangat baik karena aroma dari host hidup lebih memiliki daya tarik daripada kombinasi dari bahan-bahan kimia tersebut dalam kondisi panas dan lembab. Asam lemak yang dihasilkan dari kulit memiliki aroma pemikat yang kuat, efektif sampai jarak 7 – 30 meter, tetapi dapat mencapai 60 meter untuk beberapa spesies (Foster, 2002). Penanda kimia dan visual masih merupakan hal yang penting, tetapi pancaran panas dan kelembaban di sekitar tubuh host juga berperan. Aroma tubuh, CO2, panas, dan kelembaban dikenali dengan sensilia pada antena dan palpus. Jika stimulus dari host dapat diterima dengan baik, nyamuk betina mendekat dan hinggap pada tubuh host, khususnya kepala atau kaki.

Tinjauan Umum tentang Lalat Sigit & Hadi (2006), lalat merupakan ordo diptera yang termasuk dalam klasifikasi serangga (insecta) pengganggu yang menyebarkan penyakit secara mekanik dan menyebabkan gangguan kesehatan bagi manusia dengan spesies yang sangat banyak.

Lalat adalah salah satu vektor yang harus dikendalikan namun tidak semua species ini perlu diawasi, karena beberapa diantaranya tidak berbahaya bagi manusia ditinjau dari segi kesehatan (Tanjung, 2016). Widyati (2002), lalat sangat menyukai tempat yang sejuk dan tidak berangin, pada malam hari hinggap di semak-semak, lebih menyukai makanan yang bersuhu tinggi dari suhu udara sekitar dan sangat membutuhkan air. Tingginya populasi lalat dikarenakan kondisi lingkungan yang saniter filth = jorok (Kusnadi, 2006). Lalat adalah insekta yang mengalami meta-morfosa yang sempurna, dengan stadium telur, larva / tempayak, kepompong dan stadium dewasa. Waktu yang dibutuhkan lalat menyelesaikan siklus hidupnya dari sejak masih telur sampai dengan dewasa antara 12 sampai 30 hari. Menurut Jannah (2006), rata-rata perkembangan lalat 11 12 memerlukan waktu antara 7-22 hari, tergantung dari suhu dan makanan yang tersedia.

Berdasarkan pembagian spesiesnya lalat memiliki beberapa spesis yang terpenting dari sudut kesehatan yaitu : lalat rumah (Musca domestica), lalat kandang (Stomoxys calcitrans), lalat 16 hijau (Phenisial), lalat daging (Sarchopaga). Taksonomi lalat secara umum yaitu : (Wulansari, 2016). Philum : Arthropoda Class : Insecta Ordo : Diptera Sub Ordo : Cyclorrapha

  1. Lalat Rumah (Musca domestica) Menurut Sucipto (2011), ciri-ciri lalat rumah : a
  2. Lalat rumah termasuk family Muscidae,
  3. b. Lalat dewasa berukuran sedang dan panjang 6-8 mm,
  4. c. Rongga dada berwarna abu-abu dengan 4 garis memanjang gelap pada bagian dorsal toraks dan satu garis hitam medial pada abdomen dorsal,
  5. d. Perut kuning ditutupi dengan rambut kecil yang berfungsi sebagai organ pengecap,
  6. e. Matanya majemuk kompleks, betina mempunyai celah yang lebih lebar sedangkan lalat jantan lebih sempit,
  7. f. Antenanya terdiri dari tiga ruas,
  8. g. Mulut atau proboscis lalat disesuaikan khusus dengan fungsinya untuk menyerap dan menjilat makanan berupa cairan,
  9. h. Sayapnya mempunyai vena 4 yang melengkung tajam ke arah kosta mendekati vena 3, 17
  10. i. Ketiga pasang kaki lalat ujungnya mempunyai sepasang kuku dan sepasang bantalan disebut pulvilus yang berisi kelenjar rambut,
  11. j. Memerlukan suhu 300 C untuk hidup dan kelembaban yang tinggi,
  12. k. Tertarik pada warna terang sesuai dengan sifat fototrofiknya.
  13. 2. Lalat Kandang (Stomoxys calcitrans) Menurut Sucipto (2011), lalat kandang memiliki ciri–ciri sebagai berikut :
  14. a. Bentuknya menyerupai lalat rumah tetapi berbeda pada struktur mulutnya (proboscis) meruncing untuk menusuk dan menghisap darah,
  15. b. Penghisap darah ternak yang dapat menurunkan produksi susu. Kadang menyerang manusia dengan menggigit pada daerah lutut atau kaki bagian bawah,
  16. c. Dewasa ukuran panjang 5-7 mm,
  17. d. Thoraksnya terdapat garis gelap yang diantaranya berwarna terang,
  18. e. Sayapnya mempunyai vena 4 yang melengkung tidak tajam ke arah kosta mendekati vena,
  19. f. Antenanya terdiri atas tiga ruas, ruas terakhir paling besar, berbentuk silinder dan dilengkapi dengan arista yang memiliki bulu hanya pada bagian atas.
  20. 3. Lalat Hijau (Phenisia) Menurut Putri (2015), lalat hijau termasuk kedalam family Calliphoridae dengan ciri-ciri sebagai berikut :
  21. a. Warna hijau, abu-abu, perak mengkilat atau abdomen gelap,
  22. b. Berkembangbiak di bahan yang cair atau semi cair yang berasal dari hewan dan jarang berkembang biak di tempat kering atau bahan buah-buahan,
  23. c. Jantan berukuran panjang 8 mm, mempunyai mata merah besar,
  24. d. Lalat ini membawa telur cacing Ascaris lumbriocoides, Trichuris trichiura dan cacing kait pada bagian tubuh luarnya dan pada lambung lalat”.
  25. 4. Lalat Daging (Sarcophaga spp) Menurut Sucipto (2011), lalat daging termasuk dalam family Sarcophagidae dengan ciri-ciri sebagai berikut :
  26. a. Berwarna abu-abu tua, berukuran sedang sampai besar, kirakira 6-14 mm panjangnya,
  27. b. Mempunyai tiga garis gelap pada bagian dorsal toraks, dan perutnya mempunyai corak seperti papan catur,
  28. c. Bersifat viviparous dan mengeluarkan larva hidup pada tempat perkembangbiakannya seperti daging, bangkai, kotoran dan sayuran yang sedang membusuk, 19
  29. d. Lambungnya mengandung telur cacing Ascaris lumbricoides dan cacing cambuk”.
  30. 5. Lalat Buah (Drosophila) Lalat buah umumnya ditemukan menginfestasi buah atau berkerumun di sekitar sisa fermentasi yang ditemukan di pub, kebun buah, lahan sayuran dan pabrik dengan ciri-ciri sebagai berikut :
  31. a. Panjangnya 3mm,
  32. b. Berwarna kuning-coklat atau belang-belang,
  33. c. Mata berwarna merah terang.

Umur lalat pada umumnya sekitar 2-3 minggu, tetapi pada kondisi yang lebih sejuk biasa sampai 3 (tiga) bulan. Lalat tidak kuat terbang menantang arah angin, sebaliknya lalat akan terbang jauh mencapai 1 kilometer (Yermia, 2001). Pola hidup lalat terbagi menjadi beberapa bagian diantaranya sebagai berikut :

  1. 1. Tempat Perindukan Tempat yang disenangi lalat adalah tempat yang kotor dan basah seperti : (Sucipto, 2011).
  2. a. Kotoran hewan tempat perindukan lalat rumah yang paling utama yaitu pada kotoran hewan lembab dan baru (normalnya lebih kurang satu minggu). 13
  3. b. Sampah dan sisa makanan dari hasil olahan Lalat juga suka berkembangbiak pada sampah, sisa makanan, bauh-buahan di dalam rumah maupun di pasar.
  4. Kotoran organik Kotoran organik seperti kotoran hewan dan manusia, sampah dan makanan ikan merupakan tempat yang cocok untuk perkembangbiakan lalat.
  5. Air kotor Lalat rumah berkembang biak pada permukaan air yang kotor dan terbuka.
  6. 2. Jarak terbang Iqbal (2014), jarak terbang tergantung pada ketersediaan makanan rata rata 6-9 km, terkadang mencapai 19-20 km atau 712 mil dari tempat perkembangbiakannya serta mampu terbang 4 mil/jam.
  7. 3. Kebiasaan makan Lalat dewasa aktif pagi hingga sore hari tertarik pada makanan manusia sehari-hari seperti gula, susu, makanan olahan, kotoran manusia dan hewan, darah serta bangkai binatang. Sehubungan dengan bentuk mulutnya, lalat makan dalam bentuk cairan, makanan yang kering dibasahi oleh lidahnya kemudian dihisap airnya, tanpa air lalat hanya hidup 48 jam saja. Lalat makan paling sedikit 2-3 kali sehari (Iqbal, 2014). 14
  8. 4. Tempat istirahat (resting place) Lalat lebih menyukai tempat yang sejuk dan tidak berangin, pada malam hari hinggap di luar rumah yaitu pada semak-semak serta beristirahat ditempat dimana ia hinggap yaitu pada lantai, dinding, langit-langit, jemuran pakaian, rumput-rumput, kawat listrik dan lain-lain serta menyukai tempat-tempat dengan tepi tajam yang permukaannya vertikal. Tempat istirahat tersebut biasanya dekat dengan tempat makannya dan tidak lebih dari 4,5 meter di atas permukaan tanah (Widyati, 2002).
  9. 5. Lama hidup Pada musim panas, usia lalat berkisar antara 2-4 minggu, sedang pada musim dingin bisa mencapai 70 hari. Tanpa air lalat tidak dapat hidup lebih dari 46 jam (Widyati, 2002).
  10. 6. Temperatur dan kelembaban Kelembaban erat hubungannya dengan temperatur setempat. Bila temperatur tinggi, maka kelembaban rendah dan bila temperatur rendan maka kelembaban akan semakin tinggi. Kelembaban yang optimum 45%-90% (Sucipto, 2011).
  11. 7. Kecepatan angin Lalat aktif mencari makan pada angin yang tenang yaitu berkisar 0,3-,5 m/d. Jumlah lalat pada musim hujan lebih banyak dibandingkan musim panas dan sensitif terhadap angin yang 15 kencang, kurang aktif untuk keluar mencari makanan pada kecepatan angin tinggi (Sucipto, 2011).
  12. 8. Sinar / Cahaya Lalat mulai aktif pada suhu 15o C, aktifitas optimum pada temperatur 21o C-25o C, pada temperatur 10o C lalat tidak aktif dan di atas 45o C terjadi kematian pada lalat (Sucipto, 2011).
  13. 9. Warna dan Aroma Lalat tertarik pada cahaya terang seperti warna putih dan kuning, tetapi takut pada warna biru. Lalat tertarik pada bau atau aroma tertentu, termasuk bau busuk dan esen buah. Bau sangat berpengaruh pada alat indra penciuman, yang mana bau merupakan stimulus utama yang menuntun serangga dalam mencari makanannya, terutama bau yang menyengat. Organ kemoreseptor terletak pada antena, maka serangga dapat menemukan arah datangnya bau (Wulansari, 2016). Melihat pola hidupnya, lalat merupakan tipe makhluk hidup yang kompleks dan dapat berkembang biak dengan pesat serta mampu bertahan hidup dengan relatif lama pada temperatur dan keadaan tertentu.

Lalat memiliki bagian yang sangat peka yaitu tarsi yang terletak pada bagian kepala dan thorax karena adanya kemoreseptor atau sensili olfaktori yang berpori sehingga dapat mendeteksi aroma yang tidak disenangi. Pada umumnya serangga memiliki dendrit atau bagian cabang neuron yang berfungsi menerima rangsangan pada bagian ujung yang tidak terlindung (Indriasih, 2015). Jarak terbang Jarak terbang lalat sangat tergantung pada adanya makanan yang tersedia. Lalat rumah bisa terbang jauh dan bisa mencapai jarak 15 km dalam waktu 24 jam. Kebanyakan lalat tetap berada dalam jarak 1,5 km di sekitar tempat pembiakannya, tetapi beberapa bisa sampai sejauh 50 km. Lalat dewasa hidup 2-4 minggu pada musim panas dan lebih lama pada musim dingin. Mereka melampaui musim dingin (over wintering) sebagai lalat dewasa, dan berkembang biak di tempat-tempat yang relatif terlindung seperti kandang ternak dan gudang-gudang.Tempat istirahat Dalam memilih tempat istirahat (resting place), lalat lebih menyukai tempat yang tidak berangin, tetapi sejuk, dan kalau malam hari sering hinggap di semak-semak di luar tempat tinggal. Lalat beristirahat pada lantai, dinding, langit-langit, jemuran pakaian, rumput-rumput, kawat listrik dan lain-lain serta sangat disukai tempat-tempat dengan tepi tajam yang permukaannya vertikal. Tempat istirahat tersebut biasanya dekat dengan tempat makannya dan tidak lebih dari 4,5 meter di atas permukaan tanah. Di dalam rumah, lalat istirahat pada pinggiran tempat makanan, kawat listrik dan tidak aktif pada malam hari (Depkes, 1991 dalam Husain, 2014).

Kebiasaan makan Serangga ini sangat tertarik pada makanan manusia sehari-hari seperti gula, susu, makanan olahan, kotoran manusia dan hewan, darah serta bangkai binatang. Bentuk makanannya cair atau makanan yang basah, sedang makanan yang kering dibasahi oleh ludahnya terlebih dulu, baru diisap. Lalat makan paling sedikit 2-3 kali sehari. (Depkes, 1991 dalam Husain, 2014). Pada saat hinggap lalat mempunyai mekanisme mengeluarkan air liur dan melakukan defekasi (Onyenwe, 2016).Lama hidup Lama hidup lalat sangat bergantung pada makanan, air dan temperatur. Pada musim panas, usia lalat berkisar antara 2-4 minggu, sedang pada musim dingin bisa mencapai 70 hari (Depkes, 1991). Tanpa air lalat tidak dapat hidup lebih dari 46 jam. Lama hidup lalat pada umumnya berkisar antara 2-70 hari (Depkes, 1991 dalam Husain, 2014). f. Temperatur dan kelembaban Lalat mulai terbang pada temperatur 15 °C dan aktifitas optimumnya pada temperatur 21 °C. Pada temperatur di bawah 7,5 °C tidak aktif dan di atas 45 °C terjadi kematian pada lalat. Kelembaban erat hubungannya dengan temperatur setempat. Kelembaban berbanding terbalik dengan 15 temperatur. Jumlah lalat pada musih hujan lebih banyak dari pada musim panas. Lalat sangat sensitif terhadap angin yang kencang, sehingga kurang aktif untuk keluar mencari makanan pada waktu kecepatan angin (Depkes, 1991 dalam Husain, 2014).

Warna dan Aroma Lalat tertarik pada cahaya terang seperti warna putih dan kuning, tetapi takut pada warna biru. Lalat tertarik pada bau atau aroma tertentu, termasuk bau busuk dan esen buah. Bau sangat berpengaruh pada alat indra penciuman, bau merupakan stimulus utama yang menuntun serangga dalam mencari makanannya, terutama bau yang menyengat. Organ kemoreseptor terletak pada antena, maka serangga dapat menemukan arah datangnya bau (Depkes, 2001 dalam Husain, 2014).

Lalat sebagai Vektor Penyakit (Kartikasari, 2008) menyatakan bahwa dari berbagai kelas Hexapoda, ordo Diptera memiliki anggota yang paling banyak berkaitan dengan bidang kedokteran, kesehatan, dan veteriner. Ordo Diptera memiliki spesies yang dapat mengganggu kenyamanan hidup manusia, meyerang dan melukai hospesnya (manusia dan binatang) serta menularkan penyakit. Lalat dapat berperan sebagai vektor penyakit secara mekanis karena memiliki bulu-bulu halus disekujur tubuhnya dan suka berpindah-pindah dari suatu makanan (biasanya bahan organik yang membusuk ataupun kotoran) ke makanan lain, untuk makan dan bertelur (Levine, 1990). (Service dalam Kardinan, 2007) menyatakan bahwa lalat dapat menyebarkan sejumlah penyakit pada manusia melalui beberapa cara, yaitu melalui kaki, bulu-bulu 16 halus dan bagian mulut karena mempunyai kebiasaan regurgitasi (memuntahkan) kembali makanan yang telah dimakan. Dapat disimpulkan bahwa penularan penyakit oleh lalat dapat terjadi melalui setiap bagian tubuhnya. Lalat menyukai daerah mata dan daerah di sekitarnya sehingga ia mudah menularkan trachoma dan konjungtivitis. Lalat juga senang memasuki rumah-rumah dan hinggap di alat-alat makan. Sebelum makan ia selalu memuntahkan cairan dari mulutnya dan mengencerkan makanannya, sesudah makan ia selalu buang air besar. Sifat-sifat lalat tersebut menjadikan artropoda ini sebagai vektor penular utama penyakit-penyakit infeksi alat pencernaan misalnya penyakitpenyakit amubiasis, penyakit-penyakit bakteri usus, cacing usus, dan infeksi virus. Penularan penyakit yang disebabkan oleh lalat atau benda lain (air atau manusia) dapat digambarkan sebagai berikut:

Menurut Permenkes RI Nomor 50 Tahun 2017) yaitu tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan untuk Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit serta Pengendaliannya dimana indeks populasi lalat harus < 2. Lalat rumah (Musca domestica) dapat bertindak sebagai vektor penyakit typus, penyakit perut lainnya seperti disentri, diare, kolera, dan penyakit kulit (Kartikasari, 2008).

  1. Penyakit Disentri Kuman penyebab penyakit menempel pada kaki dan belalai lalat kemudian terbawa ikut pindah ke tempat yang dihinggapi sambil menghisap makanan merayap di atasnya, atau melalui kotoran dan muntahan lalat. Salah satu penelitian Wart dan Lindsay tahun 1948 terhadap penyakit disentri dan penyakit shigellosis, dengan pengendalian lalat rumah jumlah kejadian penyakit tersebut bisa diturunkan sampai 50%. Kotoran (feses) penderita atau carier Jari tangan, Lalat, Air, Makanan, susu, sayur dan lain-lain, Mulut orang sehat.
  2. Demam Tipoid Manusia tertular kuman tipoid atau penyakit saluran cerna lain melalui makanan yang tercemar kuman dari lalat yang sebelumnya lalat 18 hinggap di kotoran manusia yang mengandung kuman tipus/penyakit saluran cerna.
  3. Diare Banyak faktor yang dapat menyebabkan manusia terkena diare, salah satunya adalah vektor lalat yang hinggap pada kotoran kemudian membawa bakteri E. coli, Salmonella, Shigella atau yang lain, dan hinggap pada makanan atau minuman manusia.
  4. Anthrax Penularan kuman anthrax karena lalat hinggap pada daging binatang yang mati karena penyakit anthrax, kemudian hinggap pada timbunan kotoran sekitar manusia. Kuman anthrax lama-kelamaan ikut debu dan terhisap manusia sebagai lazimnya penularan penyakit anthrax.
  5. Lepra Kuman lepra yang menempel pada tubuh lalat tercampur debu dan ikut terbawa angin kemudian dihirup manusia melalui pernafasan. f. Penyakit cacingan (cacing gelang, pita dan tambang) Penyakit saluran cerna diakibatkan oleh telur cacing yang dipindahkan lalat dari kotoran penderita ke makanan manusia.

Jenis-jenis lipas yang paling banyak terdapat di lingkungan peternakan dan permukiman di Indonesia adalah Periplaneta americana dan Blatella germanica.

  1. Periplaneta americana

Tergolong serangga yang tidak disukai kehadirannya oleh penghuni daerah peternakan, permukiman dan perusahaan yang berkaitan dengan industri makanan. Selain itu sifatnya yang lincah, selalu berkeliaran mencari makan kesana kemari pada malam hari (nokturnal) baik di rumah maupun di tempat-tempat kotor di luar rumah. Cara mencari makan demikian juga menyebarkan penyakit manusia dengan meletakkan agen penyakit pada makanan, piring atau barang-barang lain yang dilaluinya.

Lipas tumbuh dan berkembang dengan cara metamorfosis sederhana. Kehidupan lipas berawal dari telur, kemudian nimfa dan dewasa. Generasinya tumpang tindih, sehingga semua stadium dapat ditemukan pada setiap saat dalam satu tahun. Celah dan retakan merupakan tempat persembunyian dan perkembangbiakan yang disukainya.

Betina meletakkan telurnya tidak satu persatu di alam akan tetapi sekumpulan telur (16-50 butir) secara teratur di dalam satu kantung yang disebut dengan ooteka. Ooteka ini bentuknya seperti dompet, warnanya coklat sampai hitam kecoklatan. Ooteka pada setiap jenis berbeda dan bisa digunakan sebagai alat bantu dalam menentukan spesies apa dalam suatu tempat. Ooteka ini diletakkan pada sudut barang/perabotan yang gelap dan lembab. Pada beberapa jenis, ootheca menempel di bagian abdomen atau dibawa kemana mana samapai saatnya menetas. Di daerah tropis telur menetas dalam periode 42-81 hari tergantung pada suhu, kelembaban lingkungan.

Telur menetas menjadi nimfa yang kecil, berwarna keputih-putihan dan belum bersayap. Nimfa berkembang agak lambat, tumbuh menjadi beberapa instar, setiap instar diakhiri dengan proses menyilih (ganti kulit) dan berukuran semakin membesar.

Jumlah instar sangat spesifik untuk setiap jenis lipas, jumlahnya bervariasi 5-13 instar sebelum menjadi lipas dewasa. Stadium ini berlangsung 6 bulan sampai dengan 3 tahun tergantung pada jenis lipas, suhu dan kelembaban lingkungan. Lipas dewasa berumur beberapa bulan bahkan sampai dengan dua tahun. Dalam stadium ini seekor betina dapat menghasilkan 4-90 ooteka. P. americana umumnya merupakan penghuni dinding bak septik dan saluran air limbah peternakan dan akan berkelana mencari makan padamalam hari.

  1. Blatela germanica

Umumnya hidup di dalam gedung hunian manusia yaitu pada celah-celah dinding dan plafon, bergerombol, tidak senang berkelana. Kehidupan bergerombol pada lipas hanya berkait dengan habitat atau tempat huninya, yaitu berupa ruang atau rongga yang lembab, tertutup dan gelap.

Lipas dianggap sebagai pengganggu kesehatan karena kedekatannya dengan hewan, manusia dan umumnya berkembang biak dan mencari makan di daerah yang kotor, seperti tempat sampah, saluran pembuangan, dan septik teng. Makanan serangga ini dari makanan yang masih dimakan manusia sampai dengan kotoran manusia. Disamping itu lipas mempunyai perilaku mengeluarkan makanan yang baru dikunyah atau memuntahkan makanan dari lambungnya. Karena sifat inilah, mereka mudah menularkan penyakit pada manusia. Agen penyakit yang dapat ditularkan oleh lipas adalah berbagi jenis virus, bakteri, protozoa, cacing dan fungi (cendawan).

Semut adalah hama permukiman yang sangat dominan dijumpai di seluruh dunia, dan sangat erat hubungannya dengan keberadaan manusia. Semut digolongkan ke dalam famili Formicidae, ordo Hymenoptera, yaitu kelompok serangga yang anggotanya selain semut adalah tawon dan lebah. Keberadaannya di muka bumi ini diperkirakan sebanyak 9.500 jenis telah dideskripsikan oleh para ahli, dan diperkirakan dua kali lipatnya masih belum ungkapkan. Di beberapa negara maju, semut merupakan pengganggu utama rumah tangga. Laporan dari Penang, Malaysia menunjukkan bahwa masyarakatnya juga melihat semut sebagai pengganggu setelah nyamuk dan lipas.

Semut merupakan contoh sempurna dari kelompok serangga sosial yang unik. Hidup semut dalam sarang yang lebih kurang bersifat permanen, mereka melakukan kegiatan sehari-hari seperti mengumpulkan makanan, melakukan kegiatan pindah, berkembang biak dan bahkan mempertahankan diri dari predator (pemangsa) dilakukan dalam satu kelompok (koloni) yang jumlahnya ribuan individu semut. Besarnya ukuran koloni sangat bervariasi dan kebanyakan lokasinya di dalam tanah, kayu, dan diantara batu-batuan. Perilaku makan semut berbeda-beda, ada yang predator, bangkai, cairan tanaman, atau secara umum yang mengandung gula, atau pemakan segala (omnivora). Semut termasuk ke dalam serangga yang termasuk sangat bermacam-macam baik dalam tingkat genus maupun spesies, dan juga terbesar jumlahnya bila dibandingkan dengan serangga lainnya seperti rayap dan lebah.

Semut adalah serangga yang sangat familiar di sekitar lingkungan kita tinggal. Semut bisa dilihat di dinding bangunan, dapur, rumput lapangan atau di kebun, kayu yang membusuk atau batu-batuan. Sebagai kelompok, maka semut tergolong serangga yang paling sukses. Keberhasilan suatu upaya pengendalian sangat tergantung kepada pemahaman terhadap sifat biologi dan perilaku dari masing-masing jenis semut. Meskipun keberadaan atau prevalensi semut sebagai hama disebabkan oleh cara hidupnya sebagai serangga sosial, perilakusemut dapat juga dimanipulasi oleh manusia untuk upaya pengendalian yang lebih baik. Selain sebagai pengganggu (nuisance) di dalam dan di sekitar gedung, semut juga berpotensi menularkan penyakit pada manusia dan hewan. Kehadiran semut di sebuah rumah sakit dapat berakibat yang kurang baik bagi kesehatan manusia karena sifatnya yang omnivor atau pemakan segala macam, termasuk dahak yang mengandung berbagai kuman penyakit.

Elzinga (1981) menyatakan bahwa serangga adalah hewan Arthropoda yang mempunyai tiga bagian tubuh yaitu kepala, toraks dan abdomen dan juga mempunyai sepasang antena. Jumlah segmen tubuhnya terdiri dari 19-20 segmen. Serangga adalah satu-satunya hewan invertebrata yang mempunyai sayap. Kebanyakan serangga adalah teresterial, meskipun ada beberapa serangga yang habitatnya aquatik. Perkembangannya epimorphik, kecuali pada ordo Protura, dan tidak ada segmen yang bertambah setelah menetas dari telur. Perubahannya sangat bervariasi dari metamorfosis tidak sempurna sampai metamorfosis yang sempurna.

            Ukuran serangga berkisar antara 0,25 mm sampai 330 mm dan 0,5 mm sampai 300 mm dalam bentangan sayap. Serangga yang terbesar terdapat di Amerika utara yaitu berupa ngengat dengan bentangan sayap kira-kira 150 mm, dan serangga tongkat dengan panjang tubuh kira-kira 150 mm. Kisaran warna serangga mulai dari yang sangat tidak menarik sampai saangat cemerlang, bahkan beberapa serangga ada berwarna-warni (Borror, 1996).

 

            Tidak seperti halnya vertebrata, serangga tidak memiliki kerangka dalam, oleh karena itu tubuh serangga ditopang oleh pengerasan dinding tubuh yang berfungsi sebagai kerangka luar (eksoskeleton). Proses pengerasan dinding tubuh tersebut dinamakan skerotisasi. Dinding tubuh atau kulit serangga disebut integumen. Integumen terdiri atas satu lapis epidermis, selaput dasar dan kutikula. Kutikula mungkin lunak dan lemas, akan tetapi biasanya mengalami skerotisasi dan membentuk menyerupai pelat yang dinamakan sklereit. Karena komponen integumen seperti itu, menyebabkan serangga tidak dapat menjadi besar. Pertumbuhan serangga memerlukan pembaruan dan penanggalan kulit lama secara periodik (Jumar, 2000).

 

Menurut Tarumingkeng (1999), ukuran tubuh serangga bervariasi dari mikroskopis (seperti Thysanoptera, berbagai macam kutu) sampai yang besar seperti walang kayu, kupu-kupu gajah dan sebagainya. Walaupun ukuran badan serangga relatif kecil dibandingkan dengan vertebrata, kuantitasnya yang demikian besar menyebabkan serangga sangat berperan dalam biodiversity (keanekaragaman bentuk hidup) dan dalam siklus energi dalam suatu habitat.

 

Serangga merupakan salah satu kelompok hewan yang mudah sekali menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan sekitarnya, terutama terhadap jenis makanan yang akan dimakan. Walaupun serangga suka pada tanaman tertentu, apabila makanan itu tidak ada ia masih dapat hidup dengan memakan jenis tanaman lain (Pracaya, 1999). Selanjutnya Jumar (2000) menyatakan bahwa, serangga memakan hampir segala zat organik yang terdapat di alam. Serangga mempunyai saluran pencernaan yang dimulai dari mulut dengan fungsi unuk memasukkan makanan, kemudian menguraikannya dengan cara hidrolisa enzimatik, mengabsorbsi hasil penguraian makanan tersebut ke dalam tubuh, kemudian dilanjutkan dengan mengeluarkan bahan-bahan sisa ke luar tubuh melalui alat saluran belakang, yaitu anus. Saluran pencernaan serangga bentuknya seperti tabung yang mungkin lurus atau berkelok, memanjang dari mulut sampai anus.

 

Serangga adalah makhluk yang berdarah dingin (poikiloterm), bila suhu lingkungan menurun, proses fisiologisnya menjadi lambat. Namun demikian banyak serangga yang tahan hidup pada suhu yang rendah (dingin) pada periode yang pendek, dan ada juga beberapa jenis diantaranya yang mampu bertahan hidup pada suhu rendah atau sangat rendah dalam waktu yang panjang (Borror, 1996). Selanjutnya Sumardi & Widyastuti (2000) menyatakan bahwa, serangga merupakan kelompok hewan yang paling luas penyebarannya. Hewan ini dapat hidup dimana-mana mulai dari daerah kering hingga daerah basah, mulai dari daerah panas hingga daerah kutub.

 

Perkembangan Serangga

 

Serangga berkembang dari telur yang terbentuk di dalam ovarium serangga betina. Kemampuan reproduksi serangga dalam keadaan normal pada umumnya sangat besar. Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa serangga cepat berkembang biak. Masa perkembangan serangga di dalam telur dinamakan perkembangan embrionik, dan setelah serangga keluar (manetas) dari telur dinamakan perkembangan pasca embrionik (Elzinga, 1981).

 

Pada serangga perkembangan individunya mulai dari telur sampai menjadi individu dewasa menunjukkan perbedaan bentuk. Keadaan ini disebut dengan metamorfosis. Dua macam perkembangan yang dikenal dalam dunia serangga yaitu metamorfosa sempurna atau holometabola yang melalui tahapan-tahapan atau stadium: telur-larva-pupa-dewasa dan metamorfosis bertahap atau hemimetabola yang melalui stadium-stadium: telur-nimfa-dewasa (Tarumingkeng, 1999).

 

  1. Metamorfosis Sempurna (Hilometabola)

 

Beberapa jenis serangga mengalami metamorfosa sempurna. Metamorfosa ini mempunyai empat bentuk; mulai dari telur menjadi larva, kemudian kepompong (pupa) baru dewasa (Mahmud, 2001). Pada tipe ini serangga pradewasa (larva dan pupa) biasanya memiliki bentuk yang sangat berbeda dengan serangga dewasa (imago). Larva merupakan fase yang sangat aktif makan, sedangkan pupa merupakan bentuk peralihan yang dicirikan dengan terjadinya perombakan dan penyusunan kembali alat-alat tubuh bagian dalam dan luar, contohnya adalah serangga dari ordo Coleoptera, Diptera, Lepidoptera, Hymenoptera dan lain-lain (Jumar, 2000).

 

  1. Metamorfosis Tidak Sempurna

 

Pada Hemimetabola, bentuk nimfa mirip dewasa hanya saja sayap belum berkembang dan habitat (tempat tinggal dan makanan) nimfa biasanya sama dengan habitat stadium dewasanya (Tarumingkeng, 1999). Metamorfosa tidak sempurna mempunyai tiga bentuk: mulai dari telur, menjadi nimfa, kemudian dewasa. Dengan demikian metamorfosa tidak sempurna tidak terdapat bentuk kepompong, contohnya adalah pada ordo Odonata, Ephimeroptera dan Plecoptera (Mamud, 2001).

 

 

Siklus Hidup. Siklus hidup adalah suatu rangkaian berbagai stadia yang terjadi pada seekor serangga selama pertumbuhannya, sejak dari telur sampai menjadi imago (dewasa). Pada serangga-serangga yang bermetamorfosis sempurna (holometabola), rangkaian stadia dalam siklus hidupnya terdiri atas telur, larva, pupa dan imago. Misalnya pada kupu-kupu (Lepidoptera), kumbang (Coleoptera), dan lalat (Diptera). Rangkaian stadia dimulai dari telur, nimfa, dan imago ditemui pada serangga dengan metamorfosis bertingkat (paurometabola), seperti belalang (Orthoptera), kepik (Hemiptera), dan sikada (homoptera) (Jumar, 2000).

 

Umur Imago. Serangga umumnya memiliki umur imago yang pendek. Ada yang beberapa hari,akan tetapi ada juga yang sampai beberapa bulan. Misalnya umur imago Nilavarpata lugens (Homoptera; Delphacidae) 10 hari, umur imago kepik Helopeltis theivora (Hemiptera; Miridae) 5-10 hari, umur  Agrotis ipsilon (Lepidoptera; Noctuidae) sekitar 20 hari, ngengat Lamprosema indicata (Lepidoptera; Pyralidae) 5-9 hari, dan kumbang betina Sitophillus oryzae (Coleoptera; Curculinoidae) 3-5 bulan (Jumar, 2000).

Elzinga (1981) menyatakan bahwa serangga adalah hewan Arthropoda yang mempunyai tiga bagian tubuh yaitu kepala, toraks dan abdomen dan juga mempunyai sepasang antena. Jumlah segmen tubuhnya terdiri dari 19-20 segmen. Serangga adalah satu-satunya hewan invertebrata yang mempunyai sayap. Kebanyakan serangga adalah teresterial, meskipun ada beberapa serangga yang habitatnya aquatik. Perkembangannya epimorphik, kecuali pada ordo Protura, dan tidak ada segmen yang bertambah setelah menetas dari telur. Perubahannya sangat bervariasi dari metamorfosis tidak sempurna sampai metamorfosis yang sempurna.

            Ukuran serangga berkisar antara 0,25 mm sampai 330 mm dan 0,5 mm sampai 300 mm dalam bentangan sayap. Serangga yang terbesar terdapat di Amerika utara yaitu berupa ngengat dengan bentangan sayap kira-kira 150 mm, dan serangga tongkat dengan panjang tubuh kira-kira 150 mm. Kisaran warna serangga mulai dari yang sangat tidak menarik sampai saangat cemerlang, bahkan beberapa serangga ada berwarna-warni (Borror, 1996).

 

            Tidak seperti halnya vertebrata, serangga tidak memiliki kerangka dalam, oleh karena itu tubuh serangga ditopang oleh pengerasan dinding tubuh yang berfungsi sebagai kerangka luar (eksoskeleton). Proses pengerasan dinding tubuh tersebut dinamakan skerotisasi. Dinding tubuh atau kulit serangga disebut integumen. Integumen terdiri atas satu lapis epidermis, selaput dasar dan kutikula. Kutikula mungkin lunak dan lemas, akan tetapi biasanya mengalami skerotisasi dan membentuk menyerupai pelat yang dinamakan sklereit. Karena komponen integumen seperti itu, menyebabkan serangga tidak dapat menjadi besar. Pertumbuhan serangga memerlukan pembaruan dan penanggalan kulit lama secara periodik (Jumar, 2000).

 

Menurut Tarumingkeng (1999), ukuran tubuh serangga bervariasi dari mikroskopis (seperti Thysanoptera, berbagai macam kutu) sampai yang besar seperti walang kayu, kupu-kupu gajah dan sebagainya. Walaupun ukuran badan serangga relatif kecil dibandingkan dengan vertebrata, kuantitasnya yang demikian besar menyebabkan serangga sangat berperan dalam biodiversity (keanekaragaman bentuk hidup) dan dalam siklus energi dalam suatu habitat.

 

Serangga merupakan salah satu kelompok hewan yang mudah sekali menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan sekitarnya, terutama terhadap jenis makanan yang akan dimakan. Walaupun serangga suka pada tanaman tertentu, apabila makanan itu tidak ada ia masih dapat hidup dengan memakan jenis tanaman lain (Pracaya, 1999). Selanjutnya Jumar (2000) menyatakan bahwa, serangga memakan hampir segala zat organik yang terdapat di alam. Serangga mempunyai saluran pencernaan yang dimulai dari mulut dengan fungsi unuk memasukkan makanan, kemudian menguraikannya dengan cara hidrolisa enzimatik, mengabsorbsi hasil penguraian makanan tersebut ke dalam tubuh, kemudian dilanjutkan dengan mengeluarkan bahan-bahan sisa ke luar tubuh melalui alat saluran belakang, yaitu anus. Saluran pencernaan serangga bentuknya seperti tabung yang mungkin lurus atau berkelok, memanjang dari mulut sampai anus.

 

Serangga adalah makhluk yang berdarah dingin (poikiloterm), bila suhu lingkungan menurun, proses fisiologisnya menjadi lambat. Namun demikian banyak serangga yang tahan hidup pada suhu yang rendah (dingin) pada periode yang pendek, dan ada juga beberapa jenis diantaranya yang mampu bertahan hidup pada suhu rendah atau sangat rendah dalam waktu yang panjang (Borror, 1996). Selanjutnya Sumardi & Widyastuti (2000) menyatakan bahwa, serangga merupakan kelompok hewan yang paling luas penyebarannya. Hewan ini dapat hidup dimana-mana mulai dari daerah kering hingga daerah basah, mulai dari daerah panas hingga daerah kutub.

 

Perkembangan Serangga

 

Serangga berkembang dari telur yang terbentuk di dalam ovarium serangga betina. Kemampuan reproduksi serangga dalam keadaan normal pada umumnya sangat besar. Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa serangga cepat berkembang biak. Masa perkembangan serangga di dalam telur dinamakan perkembangan embrionik, dan setelah serangga keluar (manetas) dari telur dinamakan perkembangan pasca embrionik (Elzinga, 1981).

 

Pada serangga perkembangan individunya mulai dari telur sampai menjadi individu dewasa menunjukkan perbedaan bentuk. Keadaan ini disebut dengan metamorfosis. Dua macam perkembangan yang dikenal dalam dunia serangga yaitu metamorfosa sempurna atau holometabola yang melalui tahapan-tahapan atau stadium: telur-larva-pupa-dewasa dan metamorfosis bertahap atau hemimetabola yang melalui stadium-stadium: telur-nimfa-dewasa (Tarumingkeng, 1999).

 

  1. Metamorfosis Sempurna (Hilometabola)

 

Beberapa jenis serangga mengalami metamorfosa sempurna. Metamorfosa ini mempunyai empat bentuk; mulai dari telur menjadi larva, kemudian kepompong (pupa) baru dewasa (Mahmud, 2001). Pada tipe ini serangga pradewasa (larva dan pupa) biasanya memiliki bentuk yang sangat berbeda dengan serangga dewasa (imago). Larva merupakan fase yang sangat aktif makan, sedangkan pupa merupakan bentuk peralihan yang dicirikan dengan terjadinya perombakan dan penyusunan kembali alat-alat tubuh bagian dalam dan luar, contohnya adalah serangga dari ordo Coleoptera, Diptera, Lepidoptera, Hymenoptera dan lain-lain (Jumar, 2000).

 

  1. Metamorfosis Tidak Sempurna

 

Pada Hemimetabola, bentuk nimfa mirip dewasa hanya saja sayap belum berkembang dan habitat (tempat tinggal dan makanan) nimfa biasanya sama dengan habitat stadium dewasanya (Tarumingkeng, 1999). Metamorfosa tidak sempurna mempunyai tiga bentuk: mulai dari telur, menjadi nimfa, kemudian dewasa. Dengan demikian metamorfosa tidak sempurna tidak terdapat bentuk kepompong, contohnya adalah pada ordo Odonata, Ephimeroptera dan Plecoptera (Mamud, 2001).

 

 

Siklus Hidup. Siklus hidup adalah suatu rangkaian berbagai stadia yang terjadi pada seekor serangga selama pertumbuhannya, sejak dari telur sampai menjadi imago (dewasa). Pada serangga-serangga yang bermetamorfosis sempurna (holometabola), rangkaian stadia dalam siklus hidupnya terdiri atas telur, larva, pupa dan imago. Misalnya pada kupu-kupu (Lepidoptera), kumbang (Coleoptera), dan lalat (Diptera). Rangkaian stadia dimulai dari telur, nimfa, dan imago ditemui pada serangga dengan metamorfosis bertingkat (paurometabola), seperti belalang (Orthoptera), kepik (Hemiptera), dan sikada (homoptera) (Jumar, 2000).

 

Umur Imago. Serangga umumnya memiliki umur imago yang pendek. Ada yang beberapa hari,akan tetapi ada juga yang sampai beberapa bulan. Misalnya umur imago Nilavarpata lugens (Homoptera; Delphacidae) 10 hari, umur imago kepik Helopeltis theivora (Hemiptera; Miridae) 5-10 hari, umur  Agrotis ipsilon (Lepidoptera; Noctuidae) sekitar 20 hari, ngengat Lamprosema indicata (Lepidoptera; Pyralidae) 5-9 hari, dan kumbang betina Sitophillus oryzae (Coleoptera; Curculinoidae) 3-5 bulan (Jumar, 2000).

Serangga atau insekta termasuk Arthropoda. Arthropoda terbagi menjadi tigasubfilum, yaitu Trilobita, Mandibulata dan Chelicerata. Subfilum trilobita telah punahdan tinggal sisa-sisanya (fosil). Subfilum Mandibulata terbagi menjadi beberapa kelas,salah satunya adalah kelas serangga (Insecta atau Heksapoda). Kelas Insecta terdiri atas dua subkelas, yaitu subkelas Apterygota (tanpa sayap) yang terdiri dari ordo Thysanura, Diplura, Protura, Collembola, dan Microcoryphia. Subkelas berikutnya adalah subkelas Pterygota, merupakan serangga yang bersayap yang terdiri dari ordo Odonata, Ephineroptera, Orthoptera, Isoptera, Diptera, Lepidoptera, Coleoptera Hemiptera, Homoptera, dan lain-lain (Jumar, 2000).

Menurut Jumar (2000), menyatakan perkembangan serangga di alam dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor dalam yang dimiliki serangga itu sendiri dan faktor luar yang berda di lingkungan sekitarnya. Tinggi rendahnya populasi suatu jenis serangga pada suatu waktu merupakan hasil antara kedua faktor tersebut.

  1. Faktor Dalam

     Kemampuan berkembang biak. Kemampuan berkembang biak suatu jenis serangga dipengaruhi oleh kepiridian dan fekunditas serta waktu perkembangan (kecepatan berkembang biak). Kepiridian (natalis) adalah besarnya kemampuan suatu jenis serangga untuk melahirkan keturunan  baru. Serangga umunya memiliki kepiridinan yang cukup tinggi. Sedangkan fekunditas (kesuburan) adalah kemampuannya untuk memproduksi telur. Lebih banyak jumlah telur yang dihasilkan oleh suatu jenis serangga, maka lebih tinggi kemampuan berkembang biaknya. Biasanya semakin kecil ukuran serangga, semakin besar kepiridinannya (Jumar, 2000).

 

     Perbandingan kelamin. Perbandingan kelamin adalah perbandingan antara jumlah individu jantan dan betina yang diturunkan oleh serangga betina. Perbandingan kelamin ini umumnya adalah 1:1, akan tetapi karena pengaruh-pengaruh tertentu, baik faktor dalam maupun faktor luar seperti keadaan musim dan kepadatan populasi maka perbandingan kelamin ini dapat berubah (Jumar, 2000).

 

     Sifat Mempertahankan Diri. Seperti halnya hewan lain, serangga dapat diserang oleh berbagai musuh. Untuk mempertahankan hidup, serangga memiliki alat atau kemampuan untuk mempertahankan dan melindungi dirinya dari serangan musuh. Kebanyakan serangga akan berusaha lari bila diserang musuhnya dengan cara terbang, lari, meloncat, berenang atau menyelam. Sejumlah serangga berpura-pura mati bila diganggu. Beberapa serangga lain menggunakan tipe pertahanan ”perang kimiawi”, seperti mengeluarkan racun atau bau untuk menghindari musuhnya. Beberapa serangga melakukan mimikri untuk menakut-nakuti atau mengelabui musuhnya. Mimikri terjadi apabila suatu spesies serangga mimiknya menyerupai spesies serangga lain (model) yang dijauhi atau dihindari sehingga mendapatkan proteksi sebab terkondisi sebelumnya serupa predator (Jumar, 2000).

 

  1. Faktor Luar
  2. Suhu dan Kisaran Suhu.

Serangga memiliki kisaran suhu tertentu dimana dia dapat hidup. Diluar kisaran suhu tersebut serangga akan mati kedinginan atau kepanasan. Pengaruh suhu ini jelas terlihat pada proses fisiologi serangga. Pada waktu tertentu aktivitas serangga tinggi, akan tetapi pada suhu yang lain  akan berkurang (menurun). Pada umunya kisaran suhu yang efektif adalah suhu minimum 150C, suhu optimum 250C dan suhu maksimum 450C. Pada suhu yang optimum kemampuan serangga untuk melahirkan keturunan besar dan kematian (mortalitas) sebelum batas umur akan sedikit (Jumar, 2000).

 

  1. Kelembaban/Hujan

Kelembaban yang dimaksud dalam bahasan ini adalah kelembaban tanah, udara, dan tempat hidup serangga di mana merupakan faktor penting yang mempengaruhi distribusi, kegiatan, dan perkembangan serangga. Dalam kelembaban yang sesuai serangga biasanya lebih tahan terhadap suhu ekstrem. Pada umumnya serangga lebih tahan terhadap terlalu banyak air, bahkan beberapa serangga yang bukan serangga air dapat tersebar karena hanyut bersama air. Akan tetapi, jika kebanyakan air seperti banjir da hujan deras merupakan bahaya bagi beberapa jenis serangga. Sebagai contoh dapat disebutkan, misalnya hujan deras dapat mematikan kupu-kupu yang beterbangan dan menghanyutkan larva atau nimfa serangga yang baru menetas (Jumar, 2000).

 

  1. Cahaya/Warna/Bau

Beberapa aktivitas serangga dipengaruhi oleh  responnya terdahap cahaya, sehingga timbul jenis serangga yang aktif pada pagi hari, siang, sore atau malam hari. Cahaya matahari dapat mempengaruhi aktivitas dan distribusi lokalnya. Serangga ada yang bersifat diurnal, yakni yang aktif pada siang hari mengunjungi beberapa bunga, meletakkan telur atau makan pada bagian-bagian tanaman dan lain-lain. Seperti contoh Leptocorixa acuta. Selain itu serangga-serangga yang aktif dimalam hari dinamakan bersifat nokturnal, misalnya Spodoptera litura. Sejumlah serangga juga ada yang tertarik terhadap cahaya lampu atau api, seperti Scirpophaga innotata. Selain tertarik terhadap cahaya, ditemukan juga serangga yang tertarik oleh suatu warna sepeti warna kuning dan hijau. Sesungguhnya serangga memiliki preferensi (kesukaan) tersendiri terhadap warna dan bau (Jumar, 2000).

 

  1. Angin

Angin berperan dalam membantu penyebaran serangga, terutama bagi serangga yang berukuran kecil. Misalnya Apid (Homoptera; Aphididae) dapat terbang terbawa oleh angin sampai sejauh 1.300 km. Kutu loncat lamtoro, Heteropsylla cubana (Homoptera; Psyllidae) dapat menyebar dari satu tempat ke tempat lain dengan bantuan angin. Selain itu, angin juga mempengaruhi kandungan air dalam tubuh serangga, karena angin mempercepat penguapan dan penyebaran udara (Jumar, 2000).

 

  1. Faktor Makanan

Kita mengetahui bahwa makanan merupakan sumber gizi yang dipergunakan oleh serangga untuk hidup dan berkembang. Jika makanan tersedia dengan kualitas yang cocok dan kuantitas yang cukup, maka populasi serangga akan naik cepat. Sebaliknya, jika keadaan makanan kurang maka populasi serangga juga akan menurun. Pengaruh jenis makanan, kandungan air dalam makanan dan besarnya butiran material juga berpengaruh terhadap perkembangan suatu jenis serangga hama. Dalam hubungannya dengan makanan, masing-masing jenis serangga memiliki kisaran makanan (inang) dari satu sampai banyak makanan (inang) (Jumar, 2000).

 

  1. Faktor Hayati

Faktor hayati adalah faktor-fakor  hidup yang ada di lingkungan yang dapat berupa serangga, binatang lainnya, bakteri, jamur, virus dan lain-lain. Organisme tersebut dapat mengganggu atau menghambat perkembangan biakan serangga, karena membunuh atau menekannya, memarasit atau menjadi penyakit atau karena bersaing (berkompetisi) dalam mencari makanan atau berkompetisi dalam gerak ruang hidup (Jumar, 2000).

  1. LANGKAH MENURUNKAN POPULASI SERANGGA TERBANG

             Pengendalian Vektor Lalat. Terdapat beberapa prinsip yang perlu diketahui dalam pengendalian vektor menurut Chandra (2007), yaitu: a. Pengendalian Lingkungan Pengendalian lingkungan merupakan cara terbaik untuk mengontrol arthropoda karena hasilnya dapat bersifat permanen. Contohnya : membersihkan tempat-tempat hidup vektor. b. Pengendalian kimia Pengendalian kimia merupakan penggunaan beberapa golongan insektisida seperti golongan organoklorin, organofosfat, dan karbamat. Namun penggunaan insektisida sering menimbulkan resistensi dan juga kontaminasi pada lingkungan. c. Pengendalian biologi Pengendaliaan biologi ditunjukkan untuk mengurangi pencemaran lingkungan akibat pemakaian insektisida yang berasal dari bahan-bahan berdaun. Contoh: pendekatan biologi adalah pemeliharaan ikan.

                Pengendalian Vektor DBD Menurut Sukowati (2010), beberapa metode pengendalian vektor telah banyak diketahui dan digunakan oleh program pengendalian DBD di tingkat pusat dan di daerah yaitu :

  1. Manajemen Lingkungan

Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan untuk mengurangi bahkan menghilangkan habitat perkembangbiakan nyamuk vektor DBD sehingga akan mengurangi kepadatan populasi. Manajemen lingkungan hanya akan berhasil dengan baik kalau dilakukan oleh masyarakat, lintas sektor, para pemegang kebijakan dan lembaga swadaya masyarakat melalui program kemitraan. Sejarah keberhasilan manajemen lingkungan telah ditunjukkan oleh Kuba dan Panama serta Kota Purwokerto dalam pengendalian sumber nyamuk (Depkes RI, 2010).

  1. Pengendalian Biologis

Pengendalian secara biologis merupakan upaya pemanfaatan agen biologis untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis yang sudah digunakan dan terbukti mampu mengendalikan populasi larva vektor DB/DBD adalah dari kelompok bakteri, predator seperti ikan pemakan jentik.

  1. 1. Bakteri Agen biologis yang sudah dibuat secara komersial dan digunakan untuk larvasidasi dan efektif untuk pengendalian 21 larva vektor adalah kelompok bakteri. Dua spesies bakteri yang sporanya mengandung endotoksin dan mampu membunuh larva adalah Bacillus thuringiensis serotype H-14 (Bt. H-14) dan B. spaericus (BS). Endotoksin merupakan racun perut bagi larva, sehingga spora harus masuk ke dalam saluran pencernaan larva. Keunggulan agen biologis ini tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran. Kelemahan cara ini harus dilakukan secara berulang dan sampai sekarang masih harus disediakan oleh pemerintah melalui sektor kesehatan. Karena endotoksin berada di dalam spora bakteri, bilamana spora telah berkecambah maka agen tersebut tidak efektif lagi.
  2. 2. Predator Predator larva di alam cukup banyak, namun yang bisa digunakan untuk pengendalian larva vektor DBD tidak banyak jenisnya, dan yang paling mudah didapat dan dikembangkan masyarakat serta murah adalah ikan pemakan jentik. Di Indonesia ada beberapa ikan yang berkembangbiak secara alami dan bisa digunakan adalah ikan kepala timah dan ikan cetul. Namun ikan pemakan jentik yang terbukti efektif dan telah digunakan di kota Palembang untuk pengendalian larva DBD adalah ikan cupang. 22 Jenis predator lainnya yang dalam penelitian terbukti mampu mengendalikan larva DBD adalah dari kelompok copepoda atau cyclops, Jenis ini sebenarnya jenis Crustacea dengan ukuran mikro. Namun jenis ini mampu makan larva vektor DBD. Beberapa spesies sudah diuji coba dan efektif, antara lain Mesocyclops aspericornis diuji coba di Vietnam, Tahiti dan juga di Balai Besar Penelitian Vektor dan Reservoir, Salatiga.
  3. Pengendalian Kimiawi

Pengendalian secara kimiawi masih menjadi senjata utama baik bagi program pengendalian DBD dan bagi masyarakat. Penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor DBD dapat menguntungkan sekaligus merugikan. Insektisida yang digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme yang bukan sasaran. Namun dampak penggunaan insektisida dalam jangka tertentu secara akan menimbulkan resistensi vektor.

  1. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan ketekunan, kesabaran dan upaya dalam memberikan pemahaman dan motivasi kepada individu, kelompok, masyarakat, bahkan pejabat secara berkesinambungan. Program yang melibatkan 23 masyarakat adalah mengajak masyarakat untuk mau dan mampu melakukan 3M plus atau PSN dilingkungan mereka. Istilah tersebut sangat populer dan mungkin sudah menjadi trade mark bagi program pengendalian DBD, namun karena masyarakat kita sangat heterogen dalam tingkat pendidikan, pemahaman dan latar belakangnya sehingga belum mampu mandiri dalam pelaksanaannya. Dari pertimbangan di atas, maka penyuluhan tentang vektor dan metode pengendaliannya masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat secara berkesinambungan. Karena vektor DBD berbasis lingkungan, maka penggerakan masyarakat tidak mungkin dapat berhasil dengan baik tanpa peran dari Pemerintah daerah dan lintas sektor terkait seperti pendidikan, agama, LSM, dll.

Metode Perangkap (Trapping) Salah satu metode pengendalian Aedes aegypti tanpa menggunakan insektisida atau bahan kimia lainnya yang dapat membantu menurunkan kepadatan nyamuk di lingkungan rumah adalah dengan metode trapping. Metode ini adalah pengembangan lain untuk pengendalian nyamuk selain insektisida dengan penggunaan alat perangkap nyamuk. Perangkap ini memanfaatkan mekanisme alamiah sehingga lebih aman dan ramah lingkungan. Sebenarnya sudah tersedia alat perangkap nyamuk yang beredar luas di masyarakat, namun harganya relatif mahal menjadikan alat ini tidak dapat diaplikasikan oleh masyarakat secara masif. Hal itu yang mendorong perlunya pengembangan alat perangkap nyamuk yang memanfaatkan tambahan atraktan yang murah, aman dan mudah digunakan (Astuti, 2011). Perangkap nyamuk yang paling paling populer digunakan dan dikembang akhir-akhir ini baik untuk penelitian maupun aplikasi di masyarakat diantaranya adalah Lethal Oviposition Trap (LO) atau biasa disebut Ovitrap, dan juga Mosquito Trap. Kedua alat trapping ini selalu mengalami modifikasi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada pembahasan ini penulis akan membahas lebih lanjut mengenai Mosquito Trap beserta modifikasi atraktannya. Mosquito Trap (Perangkap Nyamuk Dewasa) Mosquito Trap adalah perangkap nyamuk ramah lingkungan yang telah berhasil diterapkan di beberapa negara endemis DBD termasuk di Indonesia. Mosquito Trap berfungsi sebagai alat bantu pengendalian nyamuk, khusunya Aedes aegypti dewasa di lingkup rumah tangga. Alat ini dikembangkan pertama kali oleh seorang siswa bernama Hsu JiaChang dari kelas program anak-anak cerdas di SD Yong-An di Taipei, Taiwan. Hsu Jia-Chang, yang dibantu oleh gurunya tersebut berhasil menemukan model Mosquito Trap pada tahun 2007 (Astuti, 2011).

 Mosquito trap pada umumnya berupa tabung dari pemanfaatan botol bekas air mineral atau minuman botolan dengan volume 600 ml atau lebih, yang satu perempat bagian atasnya dipotong, lalu dimasukkan lagi pada potongan yang lain dengan bagian mulut botolnya 25 dibalik kearah dalam (menghadap kedasar botol), dicat hitam atau warna gelap lainnya pada bagian luarnya, dan diisi dengar air atraktan nyamuk hingga satu per empat bagian botol (±150-200 ml.). 10. Zat Atraktan Atraktan adalah sesuatu yang memiliki daya tarik terhadap serangga seperti nyamuk baik secara kimiawi maupun visual (fisik). Atraktan dari bahan kimia dapat berupa senyawa ammonia, CO2, asam laktat, octenol, dan asam lemak. Zat atau senyawa tersebut berasal dari bahan organik atau merupakan hasil proses metabolisme mahluk hidup, termasuk manusia. Adapun atraktan fisika, dapat berupa getaran suara dan warna, baik warna tempat atau pencahayaan. Atraktan tertentu dapat digunakan untuk mempengaruhi perilaku, memonitor atau menurunkan populasi nyamuk secara langsung, tanpa menyebabkan cidera bagi binatang lain dan manusia, dan tidak meninggalkan residu pada makanan atau bahan pangan. Efektifitas penggunaannya membutuhkan pengetahuan prinsip-prinsip dasar biologi serangga. Serangga menggunakan penanda kimia (semiochemicals) yang berbeda untuk mengirim pesan. Hal ini analog dengan rasa atau bau yang diterima manusia. Penggunaan zat tersebut ditandai dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Sistem reseptor yang mengabaikan atau menyaring pesan-pesan kimia yang tidak relevan disisi lain dapat mendeteksi pembawa zat dalam konsentrasi yang sangat 26 rendah. Deteksi suatu pesan kimia merangsang perilaku-perilaku tak teramati yang sangat spesifik atau proses perkembangan (Sayono, 2008). Atraktan umumnya dimanfaatkan juga oleh beberapa peneliti dibidang vektor sebagai zat untuk pengaplikasian jenis-jenis perangkap serangga (khususnya nyamuk) agar metode trapping tersebut menjadi lebih efektif dan efisien.

Pada perangkap jenis Mosquito trap yang mentargetkan Aedes aegypti dewasa sebagai sasaran, atraktan yang biasa digunakan adalah atraktan dari larutan fermentasi gula merah. Tidak menutup kemungkinan bahwa pengaplikasian jenis atraktan lain pada Mosquito trap juga dapat meningkatkan efektifitas jumlah tangkapan. Penelitian terkait atraktan yang mampu mempengaruhi perilaku, populasi, maupun pengendalian nyamuk sebagai vektor masih terus dikembangkan hingga saat ini. Dari sekian banyak jenis atraktan yang pernah diujikan, yang dapat menarik Aedes aegypti untuk mendekat antara lain yaitu larutan fermentasi gula merah, air rendaman jerami, air rendaman kerang spesies Anadara granosa, Paphia undulata, dan Mytilus smaragdinus, serta air rendaman udang windu (Thavara, 2004).

 Larutan Fermentasi Gula Merah Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik. Ilmu biologi secara lanjut mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal. Gula adalah bahan yang 27 umum dijadikan sebagai bahan baku dalam fermentasi. Agar dapat difermentasi, umumnya gula dilarutkan dengan air dan ditambahkan dengan ragi. Dalam pembuatan larutan atraktan, gula yang umum digunakan adalah gula merah dikarenakan kandungan glukosa pada gula merah lebih mudah terfermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae yang terdapat dalam ragi dibandingkan dengan gula pasir. Beberapa jenis senyawa yang dihasilkan dari fermentasi gula merah adalah etanol, asam laktat, dan hidrogen dan gas CO2. Gas CO2 tersebut merupakan atraktan yang mampu dikenali dengan baik oleh penciuman Aedes aegypti untuk datang mendekat (Kurniati, 2005).

Pemilihan cara pengendalian harus disesuaikan dengan spesies hama yang akan ditindak serta dengan situasi dan kondisi setempat. Sebagai contoh untuk suatu kandang ternak di lokasi lokasi tertentu akan lebih mudah dan efektif apabila yang dijadikan sasaran adalah stadium pradewasanya, misalnya jentik nyamuk atau belatung lalat. Untuk lokasi lainnya, mungkin hanya dewasanya saja atau kedua-duanya dapat ditindak sekaligus ataupun bergantian. Tindakan sanitasi lingkungan serta pemasangan barier fisik seperti kawat kasa mungkin lebih tepat bagi permukiman tertentu. Urutan langkah pengendalian yang ideal adalah sebagai berikut:

  1. Mengetahui identitas hama sasaran. Apakah hama yang akan dikendalikan, lalat, tungau, atau kutu dari jenis apa?
  2. Mengetahui sifat dan cara hidup (bioekologi) hama sasaran. Bagaimana daur hidup, habitat, waktu dan perilaku makan, waktu dan perilaku beristirahat, jarak terbang atau pemencarannya? Informasi ini penting untuk bahan penyusunan strategi pengendalian. Sebagai contoh habitat lalat pradewasa adalah tumpukan kotoran hewan, sampah, dan tempat-tempat pembusukan lainnya, maka sasaran pengendaliannya adalah dengan menghilangkan habitat yang disukai lalat.
  3. Memilih alternatif cara pengendalian. Apakah cara-cara selain penggunaan pestisida bisa dilakukan? Ataukan harus digunakan pestisida? Andaikan ada cara lain diterapkan lalu, diselang-seling dengan penggunaan pestisida dapat dilakukan? Untuk menjawab hal ini perlu monitoring populasi hama secara terus menerus, sehingga dapat dipilih apakah perlu menggunakan pestisida ataukah cukup dengan pengelolaan lingkungan atau keduanya.
  4. Memilih pestisida. Apabila keadaan mengharuskan penggunaan pestisida, maka yang harus diingat adalah kemungkinan terjadinya berbagai akibat samping seperti kemungkinan keracunan langsung pada manusia, ternak dan makhluk bukan-sasaran lainnya, pencemaran dan timbulnya resistensi pada populasi hama serangga sasaran setelah beberapa generasi. Golongan pestisida bermacam-macam dan masing-masing mempunyai target kerja terhadap serangga yang berbeda. Penggunaan yang terus menerus tidak terkendali dapat menimbulkan resistensi dan mengganngu ekosistem alam. Contoh insektisida yang saat ini banyak digunakan adalah golongan piretroid sintetik seperti sipermetrin, bifentrin, permetrin dll.
  5. Menentukan cara aplikasinya. Bagaimana cara aplikasi juga merupakan satu persoalan yang krusial. Di mana dilakukannya, kapan waktunya, dengan cara apa, formulasi mana yang paling tepat, serta siapa yang akan melakukannya. Cara-cara aplikasi yang dapat dilakukan untuk hama pengganggu di permukiman dan peternakan adalah space spraying (penyemrotan ruang), residual spraying (penyemprotan permukaan), baiting (pengumpanan) atau fumigasi. Sebagai contoh pada aplikasi space spray , waktu merupakan hal yang sangat penting. Karena bersifat nonresidual, maka penyemprotan harus dilakukan pada saat serangga sasaran dalam keadaan aktif. Jadi, kalau melihat pertimbangan-pertimbangan di atas maka pengendalian hama itu sebenarnya memerlukan latar belakang pengetahuan yang luas, tidak sekedar menyemprot tanpa tanggung jawab. Apabila urutan langkah ini dijalankan maka pengendalian hama akan terlaksana secara konsepsional sesuai dengan program integrated pest management.

Masalah hama di lingkungan permukiman sesungguhnya merupakan hasil rekayasa manusia pemukimnya sendiri, dengan menyediakan tempat-tempat untuk perkembang-biakan, mencari makan dan untuk berisitirahat dan berlindung. Beberapa jenis serangga tertentu seperti lalat dan kecoa telah mengadaptasikan diri dengan kehidupan hean ternak dan manusia di lingkungan permukimannya.

Oleh karena itu, cara pengendalian hama permukiman yang paling tepat adalah menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungannya, agar tidak dapat digunakan sebagai tempat berkembang biak, tempat mencari makan atau tempat berlindung dan bersembunyi. Ketika populasi hama sudah mencapai tingkat mengganggu, merugikan atau bahkan membahayakan terhadap orang yang tinggal di sekitarnya, maka perlu ditindak dengan menggunakan pestisida tapi dengan penuh kehati-hatian.

 

 

 

 

 

 

  1. LANGKAH MENURUNKAN POPULASI SERANGGA MERAYAP

 

Semut dapat sulit dikendalikan karena mereka ulet dan mahir menemukan habitat dimana mereka bisa berkembang biak. Namun, mengendalikan semut tidaklah mustahil. Ketika Anda mengetahui tipe spesies semut yang ingin Anda kendalikan, akan jauh lebih mudah untuk menyusun program pengendalian semut. Spesies semut dibedakan berdasarkan jenis makanannya (pemakan protein atau gula), hal ini menentukan jenis umpan yang perlu Anda gunakan.  

Selain itu, penting bagi Anda untuk memperhatikan faktor lain yang berperan, seperti suhu lingkungan, pasca atau tertundanya musim hujan, musim kering yang panjang, karena hal ini mempengaruhi perilaku koloni semut termasuk aktivitas mencari makan, hibernasi dan waktu berkembang biak. 

Terdapat 4 kunci elemen dari program pengendalian semut yang efektif. Keempat elemen penting ini, dapat membantu Anda mengendalikan semut dengan lebih mudah dan sukses.

  1. Inspeksi secara menyeluruh

Periksa apakah terdapat barisan semut, semut pengintai, celah masuk dan sarang semut baik di dalam maupun di luar ruangan. Telusuri dari mana semut tersebut berasal. Perhatikan dengan seksama, apakah ada dedaunan yang bersentuhan dengan struktur bangunan (seperti balkon atau penyangga bangunan), celah pada bangunan, hamparan taman, pintu masuk dan area teduh yang dapat menjadi sumber makanan atau air. Ingat Anda akan mengendalikan koloni semut bukan hanya seekor semut.

  1. Treatment di dalam ruangan

Spot treatment dapat dilakukan pada jalur semut dan sekitarnya dengan menyemprotkan insektisida. Jika ditemukan jalur semut dengan populasi yang tinggi, aplikasikan Optigard Ant umpan gel pada barisan semut tersebut, dalam retakan atau celah di mana semut berada atau terlihat. Terkadang diperlukan untuk mengaplikasikan insektisida pada titik masuk untuk mencegah semut pekerja (pengintai) mencari makan di dalam ruangan, seperti celah pada kusen pintu dan jendela, retakan pada dinding atau lubang ventilasi.

  1. Pengumpanan di luar ruangan dan spot treatments

Pengumpanan: Berikan pilihan sumber makanan lain bagi semut dengan mengumpankan Optigard Ant dekat dengan jalur semut mencari makan di luar struktur bangunan. Cara ini sangat ideal untuk mencegah semut masuk ke dalam bangunan. Semut akan mengkonsumsi Optigard Ant umpan gel dan membawa sebagian umpan kembali ke sarangnya untuk diberikan kepada semut yang lain (transfer insektisida horisontal).

Spot treatment: Perlakuan spot treatment dengan penyemprotan insektisida dilakukan pada sarang semut dan area disekitarnya. Periksa taman dengan seksama, seperti tanaman hias di pot dan pepohonan (contohnya pohon palem dan tanaman sukulen). Biasanya, semut suka bersarang di dekat pohon palem dan tanaman sukulen, karena merupakan sumber air dan makanan bagi semut. Pemakaian pupuk pada taman atau kotoran hewan, bunga (serbuk bunga) atau tanaman yang menghasilkan getah dapat menarik semut karena bisa menjadi sumber makanan bagi semut. Kehadiran serangga lain seperti tawon, lebah penghasil madu juga dapat menarik dan membawa kehadiran semut. Jika terdapat populasi serangga lain, program pengendalian semut berbeda pendekatannya, konsultasikan hal ini dengan pihak Syngenta atau para ahli lainnya.

  1. Perlakuan perimeter

Perlakuan perimeter sebaiknya menggunakan insektisida dengan efek residual yang panjang. Hal ini akan sangat efektif dan membantu ketika semut berjalan pada struktur bangunan yang telah diaplikasikan insektsida. Penyemprotan insektisida dengan efek residual menciptakan barrier penghalang bagi semut untuk memasuki bangunan, sehingga pengendalian akan lebih sempurna

  1. BIOLOGI RODENT

        Tikus adalah hewan liar yang seringkali berasosiasi dengan kehidupan manusia, akan tetapi bentuk hubungan antara tikus dan manusia umumnya bersifat parasitisme, seperti merusak produk baik secara kualitas atau secara kuantitas, sebagai carrier dan vector penyakit pada manusia, serta menimbulkan rasa takut. 

        Tikus merupakan hama yang sangat sulit dikendalikan, karena tikus memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh spesies hama lain, seperti  kemampuan fisik, kemampuan reproduksi yang sangat cepat dan  mampu bereaksi atau merespon terhadap tindakan pengendalian yang dilakukan oleh manusia, baik untuk menghindar maupun untuk menghadapinya, mempunyai mobilitas yang tinggi dengan menggunakan sarana transportasi yang diciptakan manusia.        Mempelajari dan mengenal jenis-jenis tikus sangat penting terutama bagi orang-orang yang bekerja di bidang pest control, karena dengan mengenal jenis tikus maka dapat dikenal perbedaan perilaku dan habitat untuk masing-masing spesies tikus, dari sinilah strategi pengendalian hama tikus dapat disusun dengan baik. karena untuk tercapainya suatu tindakan pengendalian  yang berhasil maka pengetahuan tentang morfologi, biologi, dan karakter-karakter yang khas dari tikus harus di pelajari sehingga tindakan-tindakan  pengendalian dan strategi pengendalian tikus berlangsung dengan efektif dan efisien.

        Perkembangbiakan tikus dipengaruhi oleh faktor fisis, biotis dan makanan, termasuk natalitas (kelahiran), mortalitas (kematian), imigrasi (kehadiran), emigrasi (keluar), kompetisi alam di antara jenis yang sama atau berbeda, adanya penyakit & predator, tersedianya makanan , air, lubang tempat berkembangbiak dan yang terpenting adalah daya tampung daerah untuk dapat didiami tikus. Populasi tikus akan berkembang dengan pesat pada saat jumlah tikus berada di bawah daya tampung daerah itu, dan sebaliknya jumlah tikus akan menurun drastis bila jumlah populasi tikus melebihi porsi daya tampung daerahnya. Karena itu perlu dipikirkan bagaimana memanipulasi faktor-faktor tersebut agar dapat menurunkan populasi tikus sampai di bawah ambang batas yang tidak merugikan.

        Menurut studi literatur untuk tikus Rattus argentiventer, pada umumnya masa kehamilan tikus rata-rata 3 – 4 minggu. Tikus bisa kawin lagi 2 hari setelah melahirkan. Jumlah anak 2 s/d 18 ekor. Tikus bisa kawin dan telah dewasa setelah umur 2-3 bulan. Waktu lahir berat tikus sawah rata-rata 2 – 4 gram, berwarna merah daging dan tidak berbulu. Umur 4 hari biru kelabu; 7-10 hari tumbuh rambut, mata masih tertutup; setelah umur 12 hari mata mulai terbuka; umur 18 s/d 24 hari masih disusui tapi sudah dapat berjalan cepat keluar dari sarang tempat tinggalnya. Tikus dapat hidup sampai umur setahun bahkan lebih, tikus betina dapat beranak sampai 4 kali setahun. Apabila sepasang tikus setiap kali melahirkan rata-rata 6 ekor tikus, maka secara teoritis, sepasang tikus dalam 10 bulan dapat menghasilkan keturunan sebanyak 508 ekor tikus.

        Family Muridae terdiri dari enam subfamily yang meliputi 100 Genus. Di antara jumlah ini 29 Genus terdapat di Indonesia. Berat tikus dewasa berfariasi dari 5 gr s/d 3000 gr, yang paling besar adalah tikus raksasa dari Flores yaitu : Papagomys armandvillei yang hidup di hutan Flores.  Tikus ini mempunyai panjang (kepala & badan) = 790 mm dan panjang ekor = 382 mm. Di Indonesia tercatat tidak kurang dari 150 spesies tikus, tidak semua spesies tikus berperan sebagai hama.

 

  1. Ciri-ciri Khusus Tikus

                   Sepintas, semua jenis tikus terlihat serupa, bahkan kadang-kadang cecurut yang tergolong ke dalam bangsa insektivora dianggap tikus, karena bentuknya seperti tikus. Sebetulnya, apabila diperiksa secara cermat, tikus memiliki ciri-ciri khusus yang mudah dibedakan, dari binatang pengerat lainnya. Ciri-ciri Khusus Tikus yang membedakannya dengan binatang lain adalah : 

  1. Terdapat sepasang gigi seri pada rahang atas maupun rahang bawah, yang berfungsi sebagai pengerat.
  2. Dibelakang gigi seri ada celah tanpa gigi.
  3. Terdapat tiga buah gigi geraham, masing-masing di atas dan di bawah rahang.
  4. Telinganya tidak berrambut.
  5. Ekornya bersisik.
  6. Kaki depan berjari empat , kaki belakang berjari lima.
  7. Taksonomi Tikus Menurut Storer & Usinger (1957)

Kingdom          : Animalia

Phylum             : Chordata

Subfhylum       : Craniata (Vertebrata)

Group              : Gratostomata

Class                : Mammalia

Sub class          : Theria

Infra class        : Eutheria

Ordo                : Rodentia

Sub ordo          : Myomorpha

Family              : Muridae

Subfamili         : Murinae

Genus              : Rattus / Mus / Bandicota / Papagomys  dll.

Species             : Rattus argentiventer / Mus musculus /  dll.

 

         

  1. EKOLOGI RODENT

        Beberapa Genus Rattus, Mus dan Bandicota hidupnya tergantung kepada manusia baik dalam hal makanan maupun tempat tinggal. Di dalam tiga Genus tersebut di atas terdapat 10 spesies yang berperan sebagai hama.  Perbedaan ke 10 spesies tikus ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu cara yang sederhana adalah dengan jalan pengenalan karakter bukan morfologi dan pengenalan karakter morfologi.

 

  1. Pengenalan karakter bukan morfologi terutama dilakukan dengan memperhatikan keterdapatan tikus pada lingkungan tempat hidup atau habitatnya. Pengenalan dengan cara ini harus hati-hati, sebab tikus sebagai mahluk hidup tidak mutlak terbatas pada daerah penghuniannya, kadang-kadang memencar ke kawasan atau lingkungan lain. Dan terdapat kemungkinan cara-cara tersebut di atas tidak dapat diterapkan apabila ada speecies yang memiliki karakter diluar cakupan kewajaran populasi pada umumnya.

Jenis habitat yang disenangi oleh masing-masing tikus tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Rattus argentiventer Rob. Kloss. (tikus sawah) : Habitat yang disukai = Sawah . Biasanya bersarang dipematang, tanggul dan irigasi dan bila waktu sawah bera tikus ini bisa hidup di pekarangan rumah atau sumber air di sekitar sawah.
  2. Rattus rattus / Rattus diardi Linn. (tikus rumah) : Habitat yang disukai : di rumah, di gudang
  3. Mus caroli Kloss. (Mencit sawah) : Habitat yang disukai : Di sawah, di rumah, di gudang.
  4. Mus musculus Waterhouse. (Mencit rumah) : Habitat yang disukai : Di rumah, digudang
  5. Rattus tiomanicus Miller (Tikus belukar) : Habitat yang disukai : di belukar, kebun bambu, kebun kelapa sawit. Jarang masuk rumah, jarang ditemukan di sawah.
  6. Rattus exulans Peale (Tikus ladang) : Habitat yang disukai : Belukar pinggiran hutan, padi huma kebun palawija
  7. Rattus whiteheady Thomas (Tikus duri kecil) : Habitat yang disukai: Semak belukar dekat ladang, hama padi, tikus ini jarang ditemukan masuk rumah.
  8. Rattus norvegicus Berkenhout (Tikus Wirok) : Habitat yang disukai : Saluran air di kota-kota pelabuhan di dalam rumah. Penyebaran melaluikapal-kapal laut ke seluruh dunia.
  9. Bandicota indica Bechstein (Tikus Tontang) : Habitat yang disukai : Sawah, kebun tebu, kebun dekat rumah yang belum padat penduduknya, di semak yang tidak dikelola.
  10. Bandicota bengaliensis Gray (Tikus Tontang) : Habitat yang disukai : Sawah, kebun tebu, kebun dekat rumah yang belum padat penduduknya diantara semak yang tidak dikelola
  11. Pengenalan Karakter Morfologi

Pengenalan ini dilakukan dengan melihat ukuran tikus keseluruhan atau bagian-bagiannya, tapi cara ini hanya dapat dilakukan terhadap tikus dewasa.

Tikus dikenal sebagai binatang kosmopolitan yaitu menempati hampir di semua habitat. Habitat dan kebiasaan jenis tikus yang dekat hubungnnya dengan manusia adalah sebagai berikut :

  1. R. Norvegicus

Menggali lubang, berenang dan menyelam, menggigit bendabenda keras seperti kayu bangunan, aluminium dsb. Hidup dalam rumah, toko makanan dan gudang, diluar rumah, gudang bawah tanah, dok dan saluran dalam tanah/riol/got.

  1. R. Ratus diardii Sangat pandai memanjat, biasanya disebut sebagai pemanjat yang ulung, menggigit benda-benda yang keras. Hidup dilobang pohon, tanaman yang menjalar. Hidup dalam rumah tergantung pada cuaca.
  2. M. Musculus Termasuk rondensia pemanjat, kadang-kadang menggali lobang, menggigit hidup didalam dan diluar rumah.

 

Kemampuan alat indera dan fisik Rodensia termasuk binatang nokturnal, keluar sarangnya dan aktif pada malam hari untuk mencari makan. Untuk itu diperlukan suatu kemampuan yang khusus agar bebas mencari makanan dan menyelamatkan diri dari predator (pemangsa) pada suasana gelap.

 

  1. Indera Penglihatan

Indera penglihatan tikus sangat buruk sekali. Tikus merupakan hewan yang buta warna, terutama dalam membedakan warna merah. Warna-warna yang ditangkap oleh indera penglihatan tikus sebagian besar berupa warna kelabu, selanjutnya terdapat kecenderungan bahwa tikus lebih tertarik pada warna-warna kuning dan hijau terang yang ditangkap oleh tikus sebagai warna cerah.

Hal ini dapat digunakan oleh manusia untuk membuat umpan tikus yang menarik penglihatannya seperti pemberian warna hijau dan kuning pada umpan. 

 

  1. Indera Penciuman

Indera penciuman tikus berkembang dengan sangat baik, hal ini  bisa terlihat ketika tikus menjumpai makanan dan tikus lain maka tikus tersebut akan mengadakan aktifitas mendengus-denguskan hidung dan menggerakkan kepala. Penciuman tikus yang baik ini bermanfaat untuk mencium urine dan sekresi genetalia sehingga dengan kemampuan ini tikus dapat mengetahui  wilayah pergerakan tikus lain serta dapat mengetahui tikus betina yang sedang estrus (birahi)

Manusia dapat memanfaatkan kemampuan indera penciuman tikus yang berkembang dengan baik yaitu dengan cara membuat senyawa  sintetis yang mirip dengan yang disekresikan oleh tikus betina sehingga tikus jantan akan datang pada bahan sintetis tersebut

  1. Indera Pendengaran

Tikus dapat mendengar pada dua tingkat frekuensi yang berbeda, yaitu pada frekuensi 40 kHz untuk tikus dan 20 kHz untuk mencit (frekuensi audible atau terdengar oleh manusia), serta pada frekuensi 100 kHz untuk tikus dan 90 kHz untuk mencit (Frekuensi ultrasonik).

Frekuensi audible akan dikeluarkan oleh anak tikus (usia 5 – 15 hari) untuk memanggil induknya pada saat mereka kehilangan induknya. Frekuensi ultrasonic biasanya akan dikeluarkan oleh tikus jantan  pada saat melakukan aktifitas sexsual, berkelahi dengan tikus lain dalam rangka menentukan daerah kekuasaan, dan anak tikus yang baru lahir karena reaksi terhadap lingkungan yang baru yang terlalu dingin.

Indera pendengaran ini dapat dimanfaatkan oleh manusia dengan merekam suara ultrasonic yang berfungsi untuk mengusir mereka. Dan membuat suara biosonik seperti merekam  suara tikus yang sedang disakiti sehingga tikus tersebut akan mengeluarkan danger sign pada tikus yang lainnya. 

  1. Indera Perasa

Tikus  dapat membedakan rasa pahit, manis, dan tidak enak. Tikus dapat membedakan dan menolak minuman yang mengandung 3 ppm senyawa phenylthiocarbamide yaitu suatu senyawa racun yang rasanya pahit. Kemampuan ini dapat menyebabkan tikus dapat menolak racun yang kita umpankan sehingga dalam memberikan racun kita harus memperhitungkan tingkat kesukaan tikus terhadap umpan yang diberikan.

  1. Indera Peraba

Tikus mempunyai indera peraba yang baik, hal ini karena tikus mempunyai vibrissae dan misai, vibrissae adalah rambut-rambut halus dan panjang  yang tumbuh diantara rambut pada bagian tepi tubuhnya, dan misai tumbuh pada kumisnya. Baik misai dan vibrissae  berfungsi untuk meraba dalam bentuk sentuhan dengan lantai, dinding, maupun benda-benda yang ada didekatnya. Sehingga dengan adanya vibrissae dan misai dapat membantu tikus dalam menentukan arah dan memberikan tanda bahaya jika ada lubang atau rintangan di depannya.

Sebagai akibat dari adanya misai dan vibrissae, maka tikus akan mempunyai kecenderungan bergerak melalui tempat yang sama (run-way)  atau dikenal dengan istilah Thigmotaxis. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk pengendalian tikus dengan cara meletakkan umpan pada run-way tikus tersebut. 

 

Kemampuan Fisik

  1. Menggali

Rattus norvegicus, Bandicota indica bila diberi kesempatan akan segera menggali untuk membuat sarang. Panjang sarang ini berkisar antara 50-200 cm dan akan lebih diperpanjang apabila populasi meningkat.

 

 

  1. Memanjat

Tikus dan mencit dapat memanjat seperti Rattus rattus dan Mus musculus, keduanya bersifat arboreal, yaitu tikus dan mencit tersebut mampu memanjat pohon, memanjat permukaan tembok yang kasar, berjalan pada seutas kawat, dan turun dari suatu ketinggian dengan posisi kepala menuju kebawah tanpa mengalami kesulitan.

Kemampuan tersebut disebabkan karena adanya footpad, yaitu tonjolan-tonjolan pada telapak kaki. Selain itu tikus dan mencit ini pun memiliki cakar untuk  memperkuat pegangan serta ekor sebagai alat untuk keseimbangan.

  1. Meloncat

Tikus dapat meloncat dengan mudah, Rattus norvegicus dapat meloncat secara vertical sampai dengan ketinggian 77 cm dan secara horizontal dapat mencapai 240 cm, sedangkan Mus musculus dapat melocat vertical sampai 25 cm. Jarak loncatan  tikus akan lebih jauh jangkauannya apabila tikus memiliki ancang-ancang sebelumnya.

  1. Mengerat

Tikus mempunyai kebiasan untuk mengerat, kebiasaan ini berhubungan dengan  tumbuhnya gigi seri sepanjang hidup tikus tersebut. Menurut Anne, 2004 setiap bulannya gigi seri tikus bertambah panjangnya sepanjang 8.8 mm. Gigi seri tikus  sangat kuat kemampuannya dalam mengerat, seperti mengerat  aspal, beton dengan kualitas yang jelek, dan lembaran alumunium. Menurut Priyambodo, 2004 tikus dapat mengerat  bahan-bahan yang keras sampai dengan nilai 5,5 pada skala geologi.

  1. Berenang dan menyelam

Tikus dapat berenang dengan kecepatan 1,4 km/jam, sedangkan untuk mencit 0,7 km/jam. Tikus dapat berenang selama 50-72 jam dengan suhu air 350 C, selain itu tikus dapat menyelam selama 30 detik.

 

Pakan dan Perilaku Makan

Tikus merupakan hewan omnivora atau pemakan segala akan tetapi, tikus akan  memakan makanan yang berkadar gizi seimbang dari beberapa macam pakan yang ada. Kebutuhan pakan bagi seekor tikus setiap harinya kurang lebih sebanyak 10% dari bobot tubuhnya. Rattus norvegicus dan Mus musculus dalam memilih makanannya lebih menyukai serealia, sedangkan Rattus rattus  lebih menyukai  buah-buahan dan makanan-makanan yang berminyak.

Tikus memiliki sifat neo-phobia, yaitu sifat yang mudah curiga terhadap setiap benda  yang ditemuinya, termasuk pakannya itu sendiri. Apabila ia menemukan makanan, ia tidak akan langsung memakan seluruhnya, tetapi mencicipinya terlebih dahulu untuk melihat reaksi yang terjadi di dalam tubuhnya, apabila ada reaksi yang membahayakan maka ia akan berhenti dalam memakan pakannya tersebut. Hubungan dari sifat neo-phobia dengan tindakan pengendalian adalah apabila kita hendak memberikan umpan beracun dalam  tindakan pengendalian maka lebih baik apabila kita memberikan racun yang bersifat antikoagulan, karena apabila diaplikasikan racun akut, maka dengan sifat neo-phobia tersebut tikus akan mengalami gangguan dalam metabolisme tubuhnya dan akhirnya akan terjadi fenomena bait-shyness (jera umpan).

 

 

 

 

Home Range

Tikus memiliki aktivitas harian yang teratur dengan tujuan untuk mencari pakan, minum,  pasangan, dan orientasi kawasan. Jarak tempuh rata-rata yang dilalui tikus relatif sama dan  disebut dengan daya jelajah harian (home range).

Orientasi kawasan diartikan sebagai aktivitas tikus dalam mengenali situasi lingkungan  terutama pakan yang disukai, sumber air, dan juga tempat perlindungan. Dengan memiliki sifat ingin tahu terhadap lingkungan maka tikus dapat mengenali benda-benda, baik yang menetap, atau benda yang baru atau asing termasuk umpan beracun atau perangkap yang dipasang oleh manusia.

Tikus memiliki home range sekitar 30-200 m, dan apabila terjadi rawan pangan, kekeringan atau bencana alam lainnya  akan terjadi perpindahan atau migrasi yang dapat mencapai jarak 700 m atau lebih.

 

Perilaku Sosial

Perilaku sosial tikus meliputi wilayah kekuasaan  dan sistem hierarki. Dalam sistem hierarki, tikus jantan memiliki kedudukan yang tinggi, baik dalam hal mempertahankan sarang, jalur jalan, dan tikus betina yang hidup di sekitarnya.

Ketika populasi meningkat maka akan terjadi kompetisi social sehingga memaksa tikus jantan yang lebih lemah untuk untuk segera keluar dari sarang dan bersama-sama dengan tikus betina lainnya untuk membentuk koloni baru. 

  

Perilaku Makan Tikus

        Makanan utama tikus adalah zat pati/karbohidrat, bila air dalam keadaan kering maka minumnya cukup hanya dengan menjilat embun pada daun-daun. Kebutuhan makan untuk tikus setiap hari berkisar 10 % dari berat badannya, sehingga Umpan yang diberikan dapat dipakai untuk memperkirakan populasi tikus dari makanan yang dikonsumsi. Beberapa jenis makanan yang dapat dimanfaatkan tikus dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya yaitu : kedelai, padi, jagung, kacang kacangan, umbi-umbian, beberapa jenis rumput dan teki juga beberapa makanan tambahan berupa sisa makanan yang terdiri dari daging, telur, buah-buahan, sayur-sayuran. Apabila terdesak (kurang makan) maka tikuspun bisa memanfaatkan makanan berupa serangga, ketam, ikan kecil, siput dan lain-lain. Apabila makanan banyak ragamnya yang tersedia dan berlimpah ruah maka tikus akan memilih sesuai dengan yang paling disukainya. Besar tikus juga dipengaruhi oleh nilai gizi dari makanan yang dimakannya.

        Neophobia merupakan suatu penghindaran awal terhadap makanan, yang diperlihatkan dengan keterlambatan dalam mengkonsumsi makananan, sebagai suatu strategi dari tikus untuk melindungi diri dari racun atau perangkap.

        Dari hasil penelitian, beras yang dicampur telur bebek  dapat meningkatkan daya pikat umpan sampai 40 kali dibandingkan dengan kontrol, penambahan beras dengan minyak kelapa meningkatkan daya pikat sampai 23 kali dan penambahan kaldu daging ketam meningkatkan 21 kali. Di lain pihak juga dikatakan bahwa preferensi tikus sawah terhadap umpan beras yang diberi bahan penyedap dari ekstrak ubi jalar + ekstrak jagung + ekstrak malai padi + weider + MSG, lebih tinggi dibandingkan dengan umpan beras tanpa zat tambahan tersebut.

  1. Langkah menurunkan populasi rodent

Upaya Pengendalian

  1. Rat Proofing Upaya rat proofing bertujuan untuk mencegah masuk dan keluarnya tikus dalam ruangan serta mencegah tikus bersarang di bangunan tersebut. Upaya rat proofing dapat ditempuh dengan jalan (Ristiyanto dan Hadi, 1992) :
  2. Membuat fondasi, lantai dan dinding bangunan terbuat dari bahan yang kuat, dan tidak ditembus oleh tikus.
  3. Lantai hendaknya terbuat dari bahan beton minimal 10 cm.
  4. Dinding dari batu bata atau beton dengan tidak ada keretakan atau celah yang dapat dilalui oleh tikus.
  5. Semua pintu dan dinding yang dapat ditem bus oleh tikus (dengan gigitannya), dilapisi plat logam hingga sekurang -kurangnya 30 cm dari lantai. Celah antara pintu dan lantai maksimal 6 mm.
  6. Semua lubang atau celah yang ukurannya lebih dari 6 mm, harus ditutup dengan adukan semen. 6. Lubang ventilasi hendaknya ditutup dengan kawat kasa yang kuat dengan ukuran lubang maksimal 6 mm.
  7. Sanitasi Lingkungan dan Manipulasi Habitat Bila ditemukan tempat yang sanitasinya kurang baik dan bisa menjadi factor penarik tikus atau bahkan sumber makanan tikus atau menjadi tempat sarang tikus, maka akan merekomendasikan diadakan perbaikan oleh klien. Sanitasi dan manipulasi habitat bertujuan menjadikan lingkungan tidak menguntungkan bagi kehidupan dan perkembangbiakan tikus. Tujuan dari perbaikan sanitasi lingkungan adalah menciptakan lingkungan yang tidak favourable untuk kehidupan tikus. Dalam pelaksanaannya dapat ditempuh dengan :
  8. Menyimpan semua makanan atau bahan makanan dengan rapi di tempat yang kedap tikus.
  9. Menampung sampah dan sisa makanan ditempat sampah yang terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, mudah dibersihkan, bertutup rapi dan terpelihara dengan baik.
  10. Tempat sampah tersebut hendaknya diletakkan di atas fondasi beton atau semen, rak atau tonggak.
  11. Sampah harus selalu diangkut secara rutin minimal sekali sehari.
  12. Meningkatkan sanitasi tempat penyimpanan barang/alat sehingga tidak dapat dipergunakan tikus untuk berlindung atau bersarang.
  13. Treatment Tikus (Rodent Control)

Pengendalian tikus menggunakan Rat Baiting. Penggunaan trap untuk jangka panjang menimbulkan tikus jera umpan dan neophobia terhadap trap. Penggunaan trap hanya untuk tempat-tempat yang sangat khusus dengan populasi tikus yang rendah. Penempatan Rodent Bait dilaksanakan pada area tertentu yang akan menarik tikus dari dalam sarang ke luar, atau ketempat yang tidak sensitive, seperti area parkir/garden, setelah itu baru difokuskan untuk tikus yang aktifitasnya dengan radius pendek yakni tikus nyingnying (mice/Mus musculus), umpan ditempatkan di dalam. Keraguan akan adanya resiko bau bangkai dapat diatasi dengan konfigurasi penempatan umpan untuk setiap kategori jenis tikus, jadi dengan penempatan umpan pada suatu lokasi dapat dideteksi sampai sejauh mana lokasi tempat tikus tersebut mati, ditambah tenaga serviceman cukup berpengalaman mengatasi masalah tikus di puluhan Rumah (housing), Mall, industri (pergudangan), Rumah Sakit, Hotel / Apartemen.

  1. Pengendalian Kimiawi Pengendalian tikus secara kimiawi dilakukan dengan menggunakan bahan kimia yang dapat membunuh tikus atau dapat mengganggu aktivitas tikus. Secara umum pengendalian secara kimiawi dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu umpan beracun, bahan fumigasi, bahan kimia repellent, bahan kimia antifertilitas.
  2. Rodentisida

Rodentisida atau umpan racun merupakan teknologi pengendalian yang paling banyak digunakan oleh para petani. Rodentisida yang dipasarkan pada umumnya dalam bentuk siap pakai atau dicampur sendiri dengan bahan umpan. Rodentisida digolongkan menjadi racun akut dan antikoagulan. Racun akut dapat membunuh tikus langsung setelah memakan umpan. Sedangkan rodentisida antikoagulan akan menyebabkan tikus mati setelah lima hari memakan umpan. Namun, jenis rodentisida antikoagulan mempunyai efek sekunder negatif terhadap predator tikus. Penggunaan rodentisida dalam pengendalian tikus sebaiknya merupakan alternatif terakhir karena sifatnya dalam mencemari lingkungan.

  1. Fumigasi Asap belerang dan karbit

Merupakan bahan fumigant yang paling sering digunakan oleh petani. Penggunaan emposan asap belerang merupakan cara pengendalian tikus yang efektif, mudah dilakukan, dan biayanya murah. Teknik menggunakan asap belerang merupakan teknik untuk membunuh tikus di dalam sarang. Sebaiknya teknik fumigasi dengan emposan asap belerang dilakukan pada saat tikus sedang beranak di dalam sarang agar dapat membunuh anak tikus dan induknya di dalam sarang (Sudarmaji, 2004). Cara fumigasi lainnya yang dapat dilakukan adalah “tiram, yaitu suatu cara fumigasi menggunakan teknik asap kembang api dengan bahan aktif belerang. Tiram dimasukkan ke dalam sarang tikus dan dinyalakan sumbunya, maka asap belerang akan keluar dan membunuh tikus.

  1. Repellent Repellent merupakan bahan untuk membuat tikus tidak nyaman berada di daerah yang dikendalikan. Beberapa bahan alami nabati seperti akar wangi diduga mempunyai efek repellent terhadap tikus, namun masih perlu dilakukan penelitian yang lebih intensif
  2. Antifertilitas Beberapa jenis bahan kimia yang digunakan untuk pemandulan manusia juga dapat digunakan untuk memandulkan tikus. Kesulitan dalam penggunaan bahan antifertilitas di lapangan pada umumnya menyangkut dosis umpan yang dikonsumsi oleh tikus. Ekstrak minyak biji jarak (Richinus communis) telah diteliti dapat digunakan sebagai rodentisida dan antifertilitas nabati pada dosis sublethal. 100 Perlakuan dosis sublethal secara oral dapat menurunkan produksi sperma tikus jantan hingga 90% dan kemandulan pada tikus betina.

 

 

  1. Tabung Beracun dan Alas Beracun

Alternatif lain penggunaan rodentisida adalah mencampur rodentisida dengan bahan lengket yang mudah melekat pada bagian tubuh tikus misalnya oli atau vaselin.  Campuran tersebut dioleskan pada bahan yang sudah dikenal tikus, misalnya bambu yang berlubang (dikenal dengan nama tabung beracun) ataupun daun pisang sebagai alas beracun (dikenal dengan nama tracking).

          Pada dasarnya penggunaan rodentisida dengan metode ini adalah memanfaatkan perilaku “grooming” pada tikus. Hasil penelitian sebelumnya  tentang bahan pelengket rodentisida, menunjukkan bahwa mencampur vaselin dan oli dengan perbandingan 50% : 50% pada berbagai konsentrasi yang dicoba hasilnya lebih efektif daripada menggunakan vaselin atau oli saja.

  1. Penggunaan Gas Beracun (dengan emposan & Calusa)

Berbagai alat emposan sudah banyak direkayasa di bengkel pertanian dan industri. Daya bunuh tiap emposan bervariasi antara 60-80%. Dengan demikian penggalian lubang masih perlu  untuk membunuh tikus yang masih hidup yang lolos  dari pengaruh asap.

Alat lain yang juga mulai dipakai yaitu penyembur api. Alat ini terdiri dari kompor minyak tanah yang dilengkapi pompa untuk menyemburkan api. Karbit atau belerang yang akan dibakar diletakkan pada mulut lubang tikus . Dengan kekuatan semburan api dari kompor tersebut asap beracun masuk ke dalam lubang.      Cartridge/calusa adalah alat fumigasi siap pakai dengan bahan aktif rodentisida belerang  diramu dengan bahan bakar. Penggunaannya sangat praktis yaitu hanya menyulut sumbu alat tersebut.

Pembentukan belerang oksida, karbon monoksida dan karbon dioksida yang cepat, menimbulkan tekanan yang cukup besar sehingga apabila digunakan diameter lubang pelepasan yang sesuai, gas tersebut disemburkan dengan cepat tanpa meledakkan tabung oksidasi.

Sebagai alternatif lain dari NaNO3 yang dapat digunaan sebagai oksidan adalah : Kalium khlorat, Natrium khlorat, Kalium Nitrat dan Kalium perkhlorat.

 

 

  1. Tindakan Pencegahan

Merancang struktur bangunan di areal pemukiman (Rumah/Hotel/Gudang dll.) agar tidak bisa ditembus masuk oleh tikus, Struktur bangunan dilengkapi “pintu satu arah” (one way doors) arahnya ke luar bangunan : sehingga tikus yang berada di dalam bangunan yang terlanjur keluar bangunan tidak bisa masuk kembali ke areal dalam bangunan. Menutup jalan yang diduga bisa untuk jalan masuk tikus dengan menggunakan barrier/penghalang. Penghalang yang digunakan harus terbuat dari bahan-bahan yang tidak dapat dikerat oleh gigi tikus (lebih dari 5,5 Mosh, skala kekerasan geologi), seperti seng tebal, aluminium tebal, besi dan ram kawat yang berdiameter kurang dari 6 mm. Penghalang-penghalang ini harus diletakkan pada lubang-lubang yang diduga bisa digunakan sebagai jalan keluar masuk tikus seperti saluran pipa pembuangan air kotor, saluran pipa pembuangan air dari plafon, lubang washtafel, lubang pada ventilasi dll.

 

  1. Tindakan Memanipulasi Habitat Tikus

Memanipulasi habitat di dalam bangunan agar tidak disukai oleh tikus serta merugikan bagi kehidupan tikus. Tindakan yang dilakukan adalah dengan jalan sanitasi lingkungan serta meminimalkan daya dukung bagi kehidupan tikus. Bangunan yang bersih, rapih dan terang sangat tidak disukai oleh tikus. Daya dukung untuk kehidupan tikus adalah adanya makanan, tempat tinggal dan air. Apabila kita meminimalkan salah satu atau ketiga daya dukung tikus tersebut, maka populasi tikus akan menurun tajam. Agar situasi/habitat bangunan (rumah, Hotel, Gudang..dll) tidak disukai oleh tikus, maka bangunan  tersebut harus bersih dan terang, apabila ada banyak barang maka barang tersebut harus tersusun rapih dan ditempatkan di tengah bangunan (ada jarak dari dinding sekitarnya). Meminimalkan sumber air dengan jalan menghilangkan adanya genangan air, mengganti bak penampungan air dengan ember yang ada tutupnya serta membuang air dibelakang kulkas secara berkala. Meminimalkan tempat tinggal Tikus dengan jalan membuang dan merapihkan dus bekas atau perkakas bekas atau barang bekas yang bertumpuk yang biasa digunakan sebagai tempat tinggal tikus, menghilangkan semak semak belukar di sekitar bangunan yang biasa digunakan sebagai tempat persembunyian tikus serta menutup lubang sarang tikus atau menghancurkannya. Meminimalkan sumber makanan tikus dengan jalan menyimpan bahan bahan makanan pada tempat tertutup yang tidak bisa ditembus tikus, membersihkan remah dan sisa sisa makanan serta dibuang ke tempat sampah yang ada penutupnya. Tempat sampah yang tertutup  tidak dapat menyebarkan aroma sehingga akan menyulitkan tikus untuk menemukan pakan tikus tersebut.

  1. Tindakan Pengendalian Tikus

Tikus yang berada di areal dalam bangunan, atau tikus yang terlanjur berada di areal dalam bangunan (rumah pemukiman, hotel, Gudang, food prosesor dll) harus diturunkan populasinya dengan cepat. Tindakan yang dapat dilakukan untuk meminimalkan populasi tikus dengan cepat adalah dengan tindakan mengendalikan tikus menggunakan komponen komponen pengendalian yang tepat dan bijaksana. Pengendalian tikus bisa secara mekanis, biologis, fisis, dan kimiawi. Cara pengendalian harus  disesuaikan dengan keberadan, penggunaan, keadaan serta peruntukan bangunan. Tindakan pengendalian harus bijaksana berdasarkan azas ekonomi, ekologi dan social, yaitu menguntungkan secara ekonomi, ramah lingkungan dan tidak menimbulkan dampak negative terhadap lingkungan serta pengelolaannya dapat diterima/dibenarkan oleh hokum dan masyarakat.

INSPEKSI DAN TANDA-TANDA KEHADIRAN TIKUS

Inspeksi harus dilaksanakan sebelum menentukan tindakan pengendalian, hal ini sangat berkaitan dengan berhasil atau tidaknya suatu tindakan  pengendalian. Dalam melakukan inspeksi hal-hal yang harus diperhatikan adalah tanda-tanda kehadiran tikus, karena dari tanda-tanda tersebut kita dapat melihat sarang, run-way, dan track dari tikus tersebut sehingga tindakan pengendalian yang dilakukan akan berjalan dengan efektif dan efisien. 

Beberapa tanda-tanda kehadiran tikus yang harus diperhatikan adalah :

 

  1. Kotoran tikus

Kotoran tikus yang baru  biasanya agak basah, mengkilap  dan berwarna gelap. Beberapa hari kemudian kotoran tersebut menjadi kering dan keras serta berwarna keruh keabuan.Kotoran tikus dapat menentukan spesies yang terdapat disuatu area, besarnya infestasi, umur tikus, dan adanya tikus itu sendiri.

  1. Track (jejak)

Track dapat memperlihatkan jejak kaki tikus sehingga kita dapat menentukan jenis tikus yang menginfestasi suatu area. Contohnya :  mencit jejak kakinya kecil, sedangkan tikus besar. Rattus norvegicus berjalan dengan menggunakan bantalan pada kaki, sedangkan Rattus rattus berjalan dengan menggunakan ujung jari kaki. Jalur yang biasa dilalui oleh tikus akan seperti licin atau Smear berupa noda hitam yang melekat pada dinding yang sering dlewati oleh tikus.

  1. Sarang

Mencit dapat ditemukan sarangnya di bawah refrigerator, di lemari, dibawah palet, dan dibelakang panel. Tikus dapat ditemukan di bawah tanah, dekat sampah, pipa saluran air, dibawah kandang ternak.

  1. Kerusakan

Tingkat kerusakan dapat memberikan informasi mengenai besarnya tingkat infestasi, dan jenis spesies yang merusak, contohnya mencit sering mensobek-sobek kertas untuk membuat sarangnya.

  1. Keberadaan Tikus itu sendiri.

Tikus adalah binatang nocturnal (aktif pada malam hari), biasanya tikus akan keluar dari sarang, setelah keadaan rumah mulai sunyi, saat itu biasanya tikus mulai mencari makan.

Pengertian Rayap

Rayap adalah serangga sosial anggota bangsa Isoptera yang dikenal luas sebagai hama pengganggu dalam kehidupan manusia. Rayap bersarang didalam tanah dan memakan kayu perabotan atau kerangka rumah sehingga menimbulkan banyak kerugian secara ekonomi. Rayap masih berkerabat dengan semut, yang juga serangga sosial. Dalam bahasa Inggris, rayap disebut juga “semut putih” (white ant) karena kemiripan perilakunya.

Sebutan rayap sebetulnya mengacu pada hewannya secara umum, padahal terdapat beberapa bentuk berbeda yang dikenal, sebagaimana pada koloni semut atau lebah sosial. Dalam koloni, rayap tidak memiliki sayap. Namun demikian, beberapa rayap dapat mencapai bentuk bersayap yang akan keluar dari sarangnya secara berbondong-bondong pada awal musim penghujan (sehingga seringkali menjadi pertanda perubahan ke musim penghujan) di petang hari dan beterbangan mendekati cahaya. Bentuk ini dikenal sebagai laron atau anai-anai.

Rayap adalah detrivores (pengkonsumsi material organik yang membusuk), khususnya di daerah subtropis dan tropis, dan kemampuan mereka mendaur ulang kayu dan bahan tanaman lain adalah hal yang penting bagi keseimbangan ekologi. Sebagai serangga sosial, rayap hidup dalam bentuk koloni. Sebuah koloni dewasa dapat beranggotakan ratusan hingga jutaan individual. Kehadiran rayap di bangunan adalah sebagai konsekuensi dari pembukaan lahan yang pada awalnya adalah habitat mereka untuk mencari makan, kemudian diubah menjadi bangunan pemukiman yang berakibat hilangnya sumber makanan bagi rayap. Namun tidak mutlak keberadaan rayap selalu merugikan manusaia, ada beberapa peranan penting rayap yang sangat menguntungkan sebagai siklus biogoechemical dalam ekosistem. Untuk itu, seyogyanya kita lebih bijak dalam melakukan pengendalian rayap dengan memilih pengendalian yang ramah lingkungan.

Bio-Ekologi Rayap

ayap merupakan serangga primitive yang telah menghuni bumi 220 juta tahun yang lalu atau 100 juta sebelum serangga sosial lainnya menghuni muka bumi (Pearce, 1997). Robinson (1996) menduga rayap merupakan serangga sosial yang paling sukses, serangga ini hidup dengan umur yang panjang dan mampu memanfaatkan selulosa sebagai sumber makanannya. Sumber makanan tersebut merupakan yang paling tinggi kelimpahannya di muka bumi.

Rayap juga merupakan serangga yang sukses beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan permukiman maupun pertanian (agroekosistem). Kelompok serangga ini berhasil beradaptasi pada peristiwa perubahan habitat dari habitat alami atau pertanian ke habitat yang merupakan lingkungan hidup manusia. Mereka menjadi toleran terhadap kondisi suhu dan kelembaban tertentu yang

Taksonomi Rayap

Rayap merupakan salah satu ordo dari 30 ordo yang tergabung dalam kelas Hexapoda dari filum Arthropoda, yaitu organisme yang memiliki anggota tubuh bersegmen. Rayap adalah serangga satu-satunya yang berada dalam ordo isoptera. Ordo ini berasal dari kata “iso: sama” dan “ptera: sayap” artinya serangga yang memiliki sayap yang sama, baik dilihat dari ukuran dan bentuk pada kedua pasang sayapnya, yaitu sayap anterior dan sayap posterior (Astuti, 2013).

 

  • Asal Isoptera

Rayap merupakan serangga neoptera terresterial yang paling primitif. Rayap bersama dengan Blattodea (kecoa) dan Mantodea (mantid) sering dikelompokkan dalam Dictyoptera. Studi filogenetik terbaru telah menyarankan mantid sebagai cabang terlama dari Dictyoptera, meninggalkan kecoa dan rayap sebagai kerabat. Kecoa yang paling primitif (Cryptocercidae) terkait erat dengan rayap karena memakan kayu, hidup dalam sistem terowongan di dalam log, memiliki flagelata simbiosis dalam usus belakang, dan hidup dalam kelompok famili sub-sosial yang kecil dimana 11 induk berbagi liang dengan satu keturunan induk dengan cairan proctodeal sebagai makanan.

 

Rayap paling primitif (Famili Mastotermitidae) hanya diwakili oleh satu spesies yaitu Mastotermes darwiniensis, yang merupakan spesies Australia Tropis dengan lokasi temuan terbaru di Gold Coast, Queensland. Rayap ini sangat mirip dengan kecoa, yaitu rayap yang masih meletakkan telur di ootheca. Rayap ini memiliki tarsi bersegmen lima dan lobus anal di sayap belakang, seperti kecoa.

 

Karena kesamaan ini, diusulkan bahwa rayap berevolusi serangga sosial. Meskipun demikian, rayap tidak memiliki gambaran khas dari kebanyakan kecoa, yaitu tubuh pipih yang lebar dengan pronotum meluas sepanjang kepala sebagai perisai, sayap depan pendek dan tebal yang sedikit terproyeksikan keluar ujung abdomen, dan kaki sangat berduri. Oleh karena itu, rayap secara morfologi terlihat lebih sederhana dan lebih primitif daripada kecoa. Kecoa berkembang dengan bentuk tubuh lebih kuat yang sesuai untuk gaya hidup sebagai pemakan sisa makhluk hidup yang telah mati (detrivorous); sedangkan rayap sesuai untuk hidup dalam terowongan di dalam kayu atau substrat tanah dan mengembangkan integrasi keluarga dengan tingkatan yang lebih maju (Astuti, 2013).

  • Posisi Isoptera dalam Dictyoptera (Insekta)

Hubungan antar ordo yang terdapat dalam kelas insekta yang direkonstruksi oleh beragam peneliti dalam bentuk pohon filogeni masih 12 bersifat kontroversial. Meskipun saat ini bukti memberatkan menunjukkan bahwa rayap (termites) tersarang dalam kecoa (cockroach), sehingga membuat “Blattaria” merupakan parafiletik. Posisi tepat rayap dalam kecoa tidak pasti, meskipun Cryptocerus adalah kelompok kerabat yang paling masuk akal (Astuti, 2013).

 

  • Hubungan Famili dalam Ordo Isoptera

Rayap yang termasuk kelompok serangga dari ordo Isoptera memiliki keragaman jenis dalam ekosistem yang cukup tinggi. Di dunia, jumlah rayap yang telah dideskripsikan mencapai 2.750 spesies yang tercakup dalam 281 genera dan 7 famili, yaitu Mastotermitidae hanya hanya spesies: Mastotermes darwiniensis, Hodotermitidae, Termopsidae, Kalotermitidae, Rhinotermitidae, Serritermitidae, and Termitidae (Astuti, 2013).

Di Indonesia telah ditemukan sekitar 10% dari total rayap dunia, yang mencakup 3 famili yaitu Kalotermitidae, Rhinotermitidae dan Termitidae, 6 subfamili dan 14 genus; dan di antaranya terdapat sekitar lima persen yang bersifat merugikan bagi manusia. Sejumlah peneliti merekonstruksi filogeni hubungan antara ketujuh famili tersebut berdasarkan data subset karakter, seperti morfologi umum, mandibel imago-pekerja, dan usus pekerja. Hubungan antar famili dalam ordo Isoptera lebih mudah terselesaikan dalam rekontruksi filogeni.

Umumnya, Mastotermitidae diterima sebagai kelompok rayap paling dasar. Termopsidae, Hodotermitidae dan Kalotermitidae adalah dasar bagi ketiga famili lainnya, yaitu Termitidae, Serritermitidae dan Rhinotermitidae; meskipun posisi kekerabatannya dalam bagian tersebut dari pohon filogeni masih dipertentangkan. Kebanyakan hasil penelitian mendukung hubungan Serritermitidae, Termitidae dan Rhinotermitidae sebagai satu kelompok kerabat. Meskipun demikian, tidak ada penelitian yang belum menemukan secara jelas monofiletik Rhinotermitidae. Termitidae mapan sebagai monofiletik dan sebagai famili rayap paling ujung dalam pohon filogeni. Namun, dalam famili Termitidae monofilik dari subfamili tidak ada yang mapan, sehingga membuat analisis pada level subfamili tidak terandalkan (Astuti, 2013). Sejumlah pohon filogeni yang menggambarkan hubungan antar famili dalam ordo Isoptera disajikan pada gambar berikut ini :

Filogeni tingkat famili pada rayap: (a) Donovan, (b) Thompson, (c) Kambhampati, (d) Majority rule consensus

 

  • Rayap Genus Coptotermes

Coptotermes adalah genus tunggal dalam subfamili Coptotermitinae yang merupakan subfamili paling primitif dari famili Rhinotermitidae. Rayap ini tersebar luas di daerah tropis dan telah diintroduksi oleh manusia ke seluruh dunia. Semua spesies Coptotermes mengkonsumsi kayu dan menjadi hama strukturaldan bangunan yang penting secara ekonomis. Genus ini memiliki jumlah spesies yang paling banyak menimbulkan kerusakan di antara genera rayap lainnya, yaitu 28 spesies, yang diikuti secara berurutan oleh genus Odontotermes (16 spesies), Microtermes (15 spesies), Reticulitermes (11 spesies), dan Heterotermes (10 spesies).

 

Pada proses pencernaan makanannya, sebagaimana halnya semua anggota koloni rayap lainnya, rayap Coptotermes dibantu oleh mikrofauna protozoa flagellata yang berada di usus belakangnya yaitu Pseudotrichonympha grasii Koidzumi, Holomastigotoides hatmanni Koidzumi, dan Spirotrichonympha leidyi Koidzumi, dengan kemampuan mendekomposisi selulosa yang berbeda tergantung pada derajat polimerisasi (PD) selulosa yang dijadikan sebagai sumber makanan. Penelitian tentang jalur degradasi selulosa oleh protozoa menunjukkan bahwa protozoa memfermentasi selulosa menjadi asetat, karbondioksida dan hidrogen, selanjutnya rayap akan mengabsorpsi asetat sebagai sumber energi (Astuti, 2013).

 

Klasifikasi Rayap

Secara klasik, rayap dibagi atas dua kelompok, yaitu rayap tingkat rendah yang mencakup semua famili kecuali Termitidae; dan rayap tingkat tinggi yang semua anggotanya dari Termitidae, yang mencapai sekitar 75% dari total semua spesies rayap. Rayap tingkat rendah dicirikan oleh adanya protozoa simbiotik pada usus belakangnya, yang membantu mencerna selulosa; sebaliknya pada rayap tingkat tinggi tidak memiliki protozoa. Ahli protozoa dan serangga telah menemukan genera dan spesies khusus dari flagellata oxymonad, trichomonad, dan hypermastigote yang terbatas pada empat famili dari rayap tingkat rendah, yaitu Mastotermitidae, Hodotermitidae, Kalotermitidae, dan Rhinotermitidae.

 

Flagellata tersebut mencerna partikel kayu yang sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup rayap; dan antara keduanya membentuk hubungan simbiosis mutualisme sejati. Dalam literatur lain disebutkan bahwa pada rayap tingkat rendah selain protozoa juga terdapat bakteri yang bersimbiosis di saluran pencernaannya, sedangkan pada rayap tingkat tinggi hanya terdapat bakteri. Rayap juga dapat dikelompokkan berdasarkan preferensi makan.

 

Pengelompokan ini menggambarkan kesukaan makan yang berhubungan dengan gradien humifikasi dari substrat yang digunakan rayap, dan variasi jumlah fragmen jaringan tanaman (dari hancuran bahan organik) dan silika (dari bahan induk tanah) pada usus. Pengelompokan yang dikenal sebagai “Donovan’s feeding group” ini terbagi atas empat, yaitu (Astuti, 2013) :

 

Group I: kelompok ini memakan kayu mati dan rumput, serta memiliki usus yang relatif sederhana. Kelompok ini diwakili oleh semua rayap tingkat rendah (Mastotermitidae, Kalotermitidae, Rhinotermitidae, dan Serritermitidae). Hampir semua rayap pemakan kayu (wood-feeders), 17 kecuali Hodotermitidae yang juga termasuk pemakan rumput (grassfeeders) (Astuti, 2013).

 

Group II: kelompok ini memakan kayu, rumput, serasah daun, dan mikroepifit, serta memiliki usus yang lebih kompleks. Kelompok ini diwakili oleh beberapa spesies Termitidae, yang mencakup rayap pemakan kayu, pemakan rumput, pemakan serasah (litter-feeders), pemakan mikroepifit (microepiphyte feeders). Macrotermitinae penumbuh jamur juga termasuk di dalamnya, meskipun dapat juga ditempatkan sebagai kelompok yang terpisah, yaitu group II–fungus (Astuti, 2013).

 

Group III: kelompok ini memakan humus, yaitu material seperti tanah yang mengandung bahan tumbuhan yang masih dapat dikenali di dalamnya. Kelompok ini mencakup spesies Termitidae yang memakan kayu yang mengalami pelapukan hebat yang dicirikan oleh hilangnya struktur serta menjadi terpisah-pisah dan menyerupai tanah; dan juga memakan tanah dengan kandungan bahan organik tinggi. Rayap ini dapat dipertimbangkan sebagai organic-rich-soil-feeders atau humusfeeders, atau soil/wood interface feeders (Astuti, 2013).

 

Group IV: kelompok ini memakan tanah, yaitu material seperti tanah yang mengandung proporsi tinggi silika dan bahan tumbuhan yang sudah tidak dapat dikenali. Kelompok ini mencakup spesies Termitidae yang memakan tanah dengan kandungan bahan organik rendah, yang dianggap sebagai true-soil-feeders (Astuti, 2013).

 

Dalam sistem taksonomi, rayap Coptotermes yang merupakan salah satu genus dari famili Rhinotermitidae memiliki sistematika sebagai berikut (Astuti, 2013) :

Kingdom : Animalia
Filum        : Arthropoda
Kelas         : Insecta (Hexapoda)
Ordo          : Isoptera
Famili       : Rhinotermitidae
Subfamili : Coptoterminae
Genus       : Coptotermes
Spesies      : Coptotermes havilandi Holmgren

 

Jenis Rayap

Berdasarkan lokasi sarang utama atau tempat tinggalnya, rayap perusak kayu dapat digolongkan dalam tipe-tipe berikut :

  1. Rayap pohon

 

yaitu jenis-jenis rayap yang menyerang pohon yang masih hidup, bersarang dalam pohon dan tak berhubungan dengan tanah. Contoh yang khas dari rayap ini adalah Neotermes tectonae (famili Kalotermitidae), hama pohon jati.

 

  1. Rayap kayu lembab

 

menyerang kayu mati dan lembab, bersarang dalam kayu, tak berhubungan dengan tanah. Contoh: Jenis-jenis rayap dari genus Glyptotermes (Glyptotermes spp., famili Kalotermitidae).

 

  1. Rayap kayu kering

 

seperti Cryptotermes spp. (famili Kalo­termitidae), hidup dalam kayu mati yang telah kering. Hama ini umum terdapat di rumah-rumah dan perabot-perabot seperti meja, kursi dsb.Tanda serangannya adalah terdapatnya butir-butir ekskremen kecil berwarna kecoklatan yang sering berjatuhan di lantai atau di sekitar kayu yang diserang.Rayap ini juga tidak berhubungan dengan tanah, karena habitatnya kering.

 

  1. Rayap subteran

 

yang umumnya hidup di dalam tanah yang mengandung banyak bahan kayu yang telah mati atau membusuk, tunggak pohon baik yang telah mati maupun masih hidup. Di Indonesia rayap subteran yang paling banyak merusak adalah jenis-jenis dari famili Rhinotermitidae.Terutama dari genus Coptotermes (Coptotermes spp.) dan Schedorhinotermes.

 

Perilaku rayap ini mirip rayap tanah seperti Macrotermes namun perbedaan utama adalah kemampuan Coptotermes untuk bersarang di dalam kayu yang diserangnya, walaupun tidak ada hubungan dengan tanah, asal saja sarang tersebut sekali-sekali memperoleh lembab, misalnya tetesan air hujan dari atap bangunan yang bocor. Coptotermes pernah diamati menyerang bagian-bagian kayu dari kapal minyak yang melayani pelayaran Palembang-Jakarta.Coptotermes curvignathus Holmgren sering kali diamati menyerang pohon Pinus merkusii dan banyak meyebabkan kerugian pada bangunan.

 

  1. Rayap tanah

 

Jenis-jenis rayap tanah di Indonesia adalah dari famili Termitidae. Mereka bersarang dalam tanah terutama dekat pada bahan organik yang mengandung selulosa seperti kayu, serasah dan humus. Contoh-contoh Termitidae yang paling umum menyerang bangunan adalah Macrotermes spp. (terutama M. gilvus) Odontotermes spp. dan Microtermes spp.

 

Jenis-jenis rayap ini sangat ganas, dapat menyerang obyek-obyek berjarak sampai 200 meter dari sarangnya. Untuk mencapai kayu sasarannya mereka bahkan dapat menembus tembok yang tebalnya beberapa cm, dengan bantuan enzim yang dikeluarkan dari mulutnya.Macrotermes dan Odontotermes merupakan rayap subteran yang sangat umum menyerang bangunan di Jakarta dan sekitarnya.

 

Peranan Rayap Dalam Kehidupan

Keberadaan koloni rayap tidak mutlak selalu merugikan bagi kehidupan manusia. Beberapa peranan rayap bila ditinjau secara keseluruhan dari keberadaannya dimuka bumi, antara lain :

  • Sarang Rayap Bisa Menguak Lokasi Tambang Emas
    Dalam hal ini ternyata hewan satu ini dapat menemukan lokasi tambang emas, bahkan saking kayanya , sarang hewan kecil itu ada yang mengandung serbuk logam mulai tersebut. Para peneliti menemukan sarang rayap itu mengandung kosentrasi emas tinggi, lima hingga enam kali lebih tinggi dari pada konsentrasi yang ditemukan lebih dari 16 meter dari gundukan.Rayap dapat masuk sampai jauh ke dalam tanah, dalam hal ini kemampuan ini tergantung dari jenis rayap. Rayap sangat suka terhadap lokasi-lokasi yang mengandung logam, terutama logam mulia (emas). Logam ini akan dikeluarkan kembali oleh rayap.

 

Sarang rayap tidak hanya sekadar tempat tinggal, akan tetapi juga sangat membantu ekosistem di sekitarnya untuk bertahan dalam masa kekeringan. Rayap membangun sarang dengan menggali lubang serupa pori-pori kecil di tanh. Akibatnya, air meresap lebih jauh ke dalam tanah sehingga tidak menguap. Para peneliti dari Universitas Princeton, Amerika Serikat menyatakan sarang rayap ibarat oasis di padang gurun. Corina Tarnita, peneliti dan asisten profesor ekologi dan biologi evolusi di Princeton University, mengatakan proses penggurunan tidak terlalu mempengaruhi habitat di sekitar sarang rayap.Manfaat dan peranan lain dari rayap untuk kehidupan manusia ialah 95% dari jenis rayap yang ada di Indonesia justru sangat bersahabat dengan manusia. Mereka ini ialah jenis rayap yang makanannya kayu lapuk. Pohon yang sudah mati ini dimakan rayap, kemudian diubah menjadi zat hara tanah yang dapat menyuburkan. Begitu juga daun tidak dapat membusuk, tanah menjadi miskin unsur hara karena tidak ada yang kembali ke tanah.

 

Keberadaan koloni rayap berperan penting dalam siklus biogeochemical (dekomposer bahan organik) seperti siklus Nitrogen, Karbon, Sulfur, Oksigen, dan Fosfor.

 

Keberadaan koloni rayap disuatu daerah mampu memengaruhi bentuk vegetasi yang tumbuh dan berkembang di sekitar koloni itu dengan altivitas dari rayap tersebut melalui modifikasi profil dan sifat kimia tanah.

 

Di daerah Gurun Afrika Selatan, rayap Hodotermes berperan dalam proses siklus nutrisi tanah. Aktivitas rayap membawa air ke daerah yang ditumbuhi tanaman sangat menguntungkan karena ketersediaan air pada tanaman menjadi lebih banyak.

 

Di daerah berpasir, rayap mampu meningkatkan infiltrasi air dan mengembalikannya ke bagian atas tanah.

 

Mengakibatkan kerusakan pada bangunan, seperti: perumahan, perkantoran, gedung olahraga dan lain sebagainya. Selain itu rayap juga dapat merusak tanaman, buku, arsip ataupun dokumen lainnya karena mereka dapat mencerna atau menguraikan selulosa.

 

 

Kasta Rayap

Koloni rayap yang merupakan jenis serangga sosial terbagi atas tiga kasta yang memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda. Ketiga kasta tersebut adalah kasta reproduksi, kasta prajurit, dan kasta pekerja. Tidak kurang daro 80-90% populasi koloni rayap merupakan kasta pekerja. Penjelasan dari kasta-kasta tersebut adalah sebagai berikut:

 

  • Kasta reproduktif

Pada kasta ini terdiri atas individu-individu seksual yaitu betina (yang abdomennya biasanya sangat membesar) yang tugasnya bertelur dan jantan (raja) yang tugasnya membuahi betina. Raja sebenarnya tak sepenting ratu jika dibandingkan dengan lamanya ia bertugas karena dengan sekali kawin, betina dapat menghasikan ribuan telur; lagipula sperma dapat disimpan oleh betina dalam kantong khusus untuk itu, sehingga mungkin sekali tak diperlukan kopulasi berulang-ulang.

 

Jika koloni rayap masih relatif muda biasanya kasta reproduktif berukuran besar sehingga disebut ratu. Biasanya ratu dan raja adalah individu pertama pendiri koloni, yaitu sepasang laron yang mulai menjalin kehidupan bersama sejak penerbangan alata. Pasangan ini disebut reprodukif primer. Jika mereka mati bukan berarti koloni rayap akan berhenti bertumbuh. Koloni akan membentuk “ratu” atau “raja” baru dari individu lain (biasanya dari kasta pekerja) tetapi ukuran abdomen ratu baru tak akan sangat membesar seperti ratu asli. Ratu dan raja baru ini disebut reproduktif suplementer atau neoten.

 

Jadi, dengan membunuh ratu atau raja kita tak perlu sesumbar bahwa koloni rayap akan punah. Bahkan dengan matinya ratu, diduga dapat terbentuk berpuluh-puluh neoten yang menggantikan tugasnya untuk bertelur. Dengan adanya banyak neoten maka jika terjadi bencana yang mengakibatkan sarang rayap terpecah-pecah, maka setiap pecahan sarang dapat membentuk koloni baru.

 

  • Kasta prajurit

Kasta ini ditandai dengan bentuk tubuh yang kekar karena penebalan (sklerotisasi) kulitnya agar mampu melawan musuh dalam rangka tugasnya mempertahankan kelangsungan hidup koloninya. Mereka berjalan hilir mudik di antara para pekerja yang sibuk mencari dan mengangkut makanan.

 

Setiap ada gangguan dapat diteruskan melalui “suara” tertentu sehingga prajurit-prajurit bergegas menuju ke sumber gangguan dan berusaha mengatasinya. Jika terowongan kembara diganggu sehingga terbuka tidak jarang kita saksikan pekerja-pekerja diserang oleh semut sedangkan para prajurit sibuk bertempur melawan semut-semut, walaupun mereka umumnya kalah karena semut lebih lincah bergerak dan menyerang.

 

Tapi karena prajurit rayap biasanya dilengkapi dengan mandibel (rahang) yang berbentuk gunting maka sekali mandibel menjepit musuhnya, biasanya gigitan tidak akan terlepas walaupun prajurit rayap akhirnya mati. Mandibel bertipe gunting (yang bentuknya juga bermacam-macam) umum terdapat di antara rayap famili Termitidae, kecuali pada Nasutitermes ukuran mandibelnya tidak mencolok tetapi memiliki nasut (yang berarti hidung, dan penampilannya seperti “tusuk”) sebagai alat penyemprot racun bagi musuhnya.

 

Prajurit Cryptotermes memiliki kepala yang berbentuk kepala bulldogtugasnya hanya menyumbat semua lobang dalam sarang yang potensial dapat dimasuki musuh. Semua musuh yang mencapai lobang masuk sulit untuk luput dari gigitan mandibelnya. Pada beberapa jenis rayap dari famili Termitidae seperti Macrotermes, Odontotermes, Microtermes dan Hospitalitermes terdapat prajurit dimorf (dua bentuk) yaitu prajurit besar (p. makro) dan prajurit kecil (p. mikro)

 

  • Kasta pekerja

Kasta ini membentuk sebagian besar koloni rayap. Tidak kurang dari 80 persen populasi dalam koloni merupakan individu-individu pekerja. Tugasnya melulu hanya bekerja tanpa berhenti hilir mudik di dalam liang-liang kembara dalam rangka mencari makanan dan mengangkutnya ke sarang, membuat terowongan-terowongan, menyuapi dan membersihkan reproduktif dan prajurit, membersihkan telur-telur, dan — membunuh serta memakan rayap-rayap yang tidak produktif lagi (karena sakit, sudah tua atau juga mungkin karena malas), baik reproduktif, prajurit maupun kasta pekerja sendiri.

 

Dari kenyataan ini maka para pakar rayap sejak abad ke-19 telah mempostulatkan bahwa sebenarnya kasta pekerjalah yang menjadi “raja”, yang memerintah dan mengatur semua tatanan dan aturan dalam sarang rayap. Sifat kanibal terutama menonjol pada keadaan yang sulit misalnya kekurangan air dan makanan, sehingga hanya individu yang kuat saja yang dipertahankan. Kanibalisme berfungsi untuk mempertahankan prinsip efisiensi dan konservasi energi, dan berperan dalam pengaturan homeostatika (keseimbangan kehidupan) koloni rayap.
Feromon penanda jejak dan pendeteksi makanan.

 

Telah merupakan suatu diktum bahwa rayap (pekerja dan prajurit) itu buta. Mereka jalan beriiringan atau dapat menemukan obyek makanan bukan karena mereka mampu melihat atau mencium bau melalui “hidung”. Kemampuan mende­eksi dimungkinkan karena mereka dapat menerima dan menafsirkan setiap bau yang esensial bagi kehidupannya melalui lobang-lobang tertentu yang terdapat pada rambut-rambut yang tumbuh di antenanya. Bau yang dapat dideteksi rayap berhubungan dengan sifat kimiawi feromonnya sendiri.

 

Feromon adalah hormon yang dikeluarkan dari kelenjar endokrin., tetapi berbeda dengan hormon, feromon menyebar ke luar tubuh dan empengaruhi individu lain yang sejenis. Untuk dapat mendeteksi jalur yang dijelajahinya, individu rayap yang berada didepan mengeluarkan feromon penanda jejak (trail following pheromone) yang keluar dari kelenjar sternum (sternal gland di bagian bawah, belakang abdomen), yang dapat dideteksi oleh rayap yang berada di belakangnya. Sifat kimiawi feromon ini sangat erat hubungannya dengan bau makannannya sehingga rayap mampu mendeteksi obyek makanannya.

 

Biologi dan Morfologi Rayap

Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan rayap yang paling luas serangannya di Indonesia. Klasifikasi rayap tanah C. curvignatus sebagai berikut :
Isoptera berasal dari bahasa latin yang berarti Insekta bersayap sama. Ciri-ciri lain yang dimiliki oleh ordo Isoptera adalah

  1. tubuh lunak,
  2. memiliki dua sayap,
  3. bersifat hemitabola,
  4. memiliki dua pasang sayap tipis yang tipe dan ukurannya sama. Toraks berhubungan langsung dengan abdomen yang ukuran lebih besar, merupakan serangga sosial.
  5. mengalami metamorfosis tidak sempurna,
  6. tipe mulut penguyah,
  7. cara hidupnya membentuk koloni dengan sistem pembagian tugas tertentu yang disebut polimorfisme,
  8. rayap memiliki 4 kasta, yaitu : kasta reproduksi pertama bersayap dan akan ditanggalkan setelah perkawinan, kasta reproduksi kedua dewasa secara seksual tapi dalam bentuk nympha, kasta pekerja tidak bersayap dan memiliki banyak tugas untuk memelihara koloni, kasta tentara bersifat steril dan memiliki kepala dan mandibula yang besar serta bertugas menjaga koloni (Pratama, 2013).

 

Rayap yang ditemukan di daerah tropis jumlah telurnya dapat mencapai ± 36.000 sehari bila koloninya sudah berumur ± 5 tahun. Bentuk telur rayap ada yang berupa butiran yang lepas ada pula uang berupa kelompok terdiri dari 16-20 butir telur yang melekat satu sama lain. Telur-telur ini berbentuk silinder dengan ukuran panjang yang bervariasi antara 1-1,5 mm (Hasan dalam Pratama, 2013). Tubuh Isoptera tersusun oleh:

 

Kepala
Prognathous, mempunyai mata mejemuk, kadang-kadang mengecil, mempunyai dua occellus atau tidak mempunyai antena panjang tersusun atas sejumlah segmen, sampai tiga puluh segmen, tipe mulut penggigit dan pengunyah (Rizali dalam Pratama, 2013).

 

Dada (thorax)
Mempunyai dua pasang sayap yang bersifat membran, kedua pasang sayap ini mempunyai bentuk dan ukuran yang sama, pada keadaan istirahat pasangan sayap melipat di bagian dorsal abdomen. Kebanyakan pekerja dan tentara tidak bersayap.Pasangan-pasangan kaki pendek, coxae sangat berkembang, tarsus terdiri atas empat sampai lima segmen, dengan sepasang ungues (Rizali dalam Pratama, 2013)

 

Perut (abdomen)
Tersusun atas sebelas segmen.Sternum segmen abdomen pertama mengecil.Sternum segmen abdomen kesebelas menjadi paraproct.Cercus pendek tersusun atas enam sampai delapan segmen (Rizali dalam Pratama, 2013).

 

Bionomik Rayap

Perilaku Makan pada Rayap
Rayap merupakan serangga daerah tropika dan subtropika. Rayap ditemukan mulai dari pantai sampai ketinggian 3000 m di atas permukaan laut, dengan kelembaban 60-70%, dan temperatur udara antara 250C danh 290C. Makanan utamanya adalah kayu atau bahan yang memiliki kandungan selulosa. Dari perilaku makanya, dapat dikatakan bahwa rayap termasuk golongan makhluk hidup perombak bahan mati yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi kelangsungan kehidupan dalam ekosistem kita.

 

Mereka merupakan konsumen primer dalam rantai makanan yang berperan dalam kelangsungan siklus beberapa unsur penting seperti karbon dan nitrogen. Secara umum makanan rayap adalah semua bahan yang mengandung selulosa. Bignell dan Eggleton (2000), membagi rayap menjadi beberapa kelompok berdasarkan jenis makanannya, yaitu :

  1. Rayap Pemakan Tanah
    Rayap tingkat rendah mendapatkan makanan dari mineral tanah. Material yang dicerna sangat heterogen, mengandung banyak bahan organik tanah dan silika. Rayap jenis ini ditemukan pada Apicotermitinae, Termitinae, Nasutitermitinae, dan Indotermitinae.
  2. Rayap Pemakan Kayu (Wood-Feeder)
    Rayap yang mendapatkan makanan dengan memakan kayu dan sampah berkayu, termasuk cabang mati yang masih menempel di pohon. Hampir semua rayap tingkat rendah adalah pemakan kayu, semua subfamili dari Termitinae kecuali Apicotermitinae.
  3. Rayap Pemakan Serasah (Litter-Feeder)
    Rayap jenis ini mendapatkan makanan dari daun atau kayu-kayu kecil. Rayap ini terdapat pada Macrotermitinae, Apicotermitinae, Termitinae, dan Nasutitermitinae. Rayap memakan kayu yang kaya selulosa kristalin dan amorf, hemiselulosa dan lignin. Tingkat hidrolisis hemiselulosa dan lignin yang tinggi dapat membatasi aktivitas selulolitik melalui penghambatan produk akhir. Hal ini yang menyebabkan rayap mengekspresikan berbagai macam gen selulase.

 

Rayap mampu makan (menyerap) selulosa melumatkan dan menyerapnya sehingga sebagian besar ekskremen hanya tinggal lignin saja. Kemampuan rayap dalam melumatkan selulosa dikarenakan pada usus bagian belakang rayap memiliki protozoa yang berperan sebagi simbion untuk melumatkan selulosa sehingga mampu mencernakan dan menyerapnya (Waryono, 2008).

 

Saluran pencernaan rayap terdiri atas usus depan, usus tengah, dan usus belakang. Saluran ussus ini menempati sebagian besar dari abdomen. Kelenjar saliva mensekresikan endoglukanase dan enzim lain ke saluran pencernaan.pada usus tengah, mensekresikan suatu membrane peritrofik di sekeliling material makanan. Rayap dapat bertahan hidup dengan memanfaatkan lignoselulosa yang mengandung sedikit nutrisi. Rayap dapat mencerna lignoselulosa dengan menggunakan enzim selulase yang dihasilkan oleh rayap itu sendiri dan simbion. Lignoselulosa adalah suatu campuran dari tiga polimer yang dihasilkan tanaman yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selulosa adalah polimer glukosa yang terikat oleh ikatan β-1,4 dan terikat bersama dengan hemiselulosa.

 

Siklus Hidup Rayap

 

Siklus hidup perkembangan rayap adalah melalui metamorfosa hemimetabola, yaitu secara bertahap, yang secara teori melalui stadium (tahap pertumbuhan) telur, nimfa, dewasa. Walau stadium dewasa pada serangga umumnya terdiri atas individu–individu bersayap (laron) (Tarumingkeng, 2001).

 

Menurut Nandika dkk (2003) sistematika dari rayap (C. curvinagthus) adalah sebagai berikut :
Filum : Arthropoda , Kelas : Insecta , Ordo : Isoptera Famili : Rhinotermitidae , Genus : Coptotermes, Spesies : Coptotermes curvinagthus Holmgren

 

Panjang telur bervariasi antara 1-1,5 mm. Telur C. curvignathus akan menetas setelah berumur 8-11 hari. Jumlah telur rayap bervariasi, tergantung kepada jenis dan umur.Saat pertama bertelur betina mengeluarkan 4-15 butir telur.Telur rayap berbentuk silindris, dengan bagian ujung yang membulat yang berwarna putih. Telur yang menetas yang menjadi nimfa akan mengalami 5-8 instar (Nandika dkk, 2003).

 

Nimfa yang menetas dari telur pertama dari seluruh koloni yang baru akan berkembang menjadi kasta pekerja. Kasta pekerja jumlahnya jauh lebih besar dari seluruh kasta yang terdapat dalam koloni rayap.Waktu keseluruhan yang dibutuhkan dari keadaan telur sampai dapat bekerja secara efektif sebagai kasta pekerja pada umumnya adalah 6-7 bulan.Umur kasta pekerja dapat mencapai 19- 24 bulan.

 

Struktur kepala pada nimfa muda dan pekerja sama dengan bentuk kasta reproduktifnya. Kadang tidak terdapat mata majemuk dan ocelli.Jika terdapat mata majemuk maka mata tersebut belum berkembang seperti halnya pada kasta reproduktif.Mata majemuk tampak jelas pada nimfa tua sebelum terbentuk laron.Jumlag segmen antenanya lebih sedikit dibandingkan setelah menjadi laron (Nandika dkk, 2003).